Dari Munir ke Wiji Thukul: Mengapa Keadilan HAM Tak Kunjung Datang?

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Dari Munir ke Wiji Thukul: Mengapa Keadilan HAM Tak Kunjung Datang? 04/08/2024 653 view Hukum Bergelora.com

Ketika berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, nama Munir Said Thalib dan Wiji Thukul adalah dua nama yang tak bisa dipisahkan. Munir, seorang pejuang HAM, tewas diracun dalam perjalanan menuju Belanda pada 2004. Kasus pembunuhannya masih belum sepenuhnya terungkap, meskipun banyak bukti yang sudah ditemukan. Wiji Thukul, seorang penyair dan aktivis HAM, hilang sejak 1998 dan nasibnya hingga kini masih misteri. Kedua kasus ini mencerminkan kegagalan sistem hukum dan pemerintahan Indonesia dalam memberikan keadilan bagi para pejuang HAM.

Kasus Munir menjadi simbol betapa lemahnya sistem peradilan kita dalam menangani pelanggaran HAM berat. Meski telah dilakukan berbagai investigasi, termasuk oleh Tim Pencari Fakta (TPF), hasilnya tidak pernah benar-benar memuaskan. Seolah-olah ada kekuatan besar yang menghalangi terungkapnya kebenaran.

Munir Said Thalib adalah sosok yang tak kenal takut dalam memperjuangkan hak-hak korban pelanggaran HAM. Kematian tragisnya menjadi tamparan keras bagi upaya penegakan hukum di Indonesia. Meski Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan bersalah sebagai pelaku yang meracuni Munir, banyak pihak yang meyakini bahwa ia hanyalah pelaksana lapangan. Aktor-aktor besar yang berada di balik layar masih belum terjamah oleh hukum.

Komnas HAM mencatat bahwa investigasi kasus Munir telah berlarut-larut hingga lebih dari satu dekade tanpa hasil yang memuaskan. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 70% kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia masih belum menemukan titik terang. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan bagi para pejuang HAM. Sebuah kutipan dari seorang ahli hukum, Todung Mulya Lubis, menyatakan, "Kegagalan untuk mengungkap dalang di balik pembunuhan Munir menunjukkan adanya impunitas yang masih kuat di Indonesia."

Wiji Thukul adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan tirani. Puisinya yang tajam dan penuh semangat perlawanan menginspirasi banyak orang untuk bangkit melawan rezim otoriter. Namun, hilangnya Wiji Thukul sejak 1998 menambah daftar panjang kasus penghilangan paksa yang belum terpecahkan di Indonesia. Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada lebih dari 1.000 kasus penghilangan paksa selama Orde Baru, dan sebagian besar masih belum terungkap hingga hari ini.

Ketidakjelasan nasib Wiji Thukul tidak hanya meninggalkan luka bagi keluarga dan sahabatnya, tetapi juga melemahkan semangat perjuangan HAM di Indonesia. Ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan kasus ini menunjukkan betapa lemahnya sistem hukum kita dalam melindungi para pejuang HAM. Seperti yang dikatakan oleh Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, "Kasus Wiji Thukul adalah bukti nyata bahwa pemerintah Indonesia masih gagal dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat dan memberikan keadilan bagi para korbannya."

Kasus Munir dan Wiji Thukul adalah puncak gunung es dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang tidak mendapatkan keadilan. Lemahnya sistem hukum dan kurangnya kemauan politik dari pemerintah menjadi hambatan utama dalam menuntaskan kasus-kasus ini. Menurut laporan dari Human Rights Watch, meski ada berbagai peraturan dan undang-undang yang mendukung penegakan HAM, implementasinya seringkali terganjal oleh kepentingan politik dan korupsi.

Hal ini diperkuat dengan data dari Transparency International yang menunjukkan bahwa negara kita masih berada di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023. Korupsi yang merajalela ini menjadi penghalang besar bagi penegakan hukum yang adil dan transparan. Bagaimana bisa kita mengharapkan keadilan bagi para pejuang HAM jika sistem hukum kita sendiri ternodai oleh praktik korupsi?

Sistem hukum dan pemerintahan yang gagal memberikan keadilan bagi para pejuang HAM seperti Munir dan Wiji Thukul, menunjukkan adanya masalah struktural yang serius. Misalnya, lemahnya independensi lembaga peradilan dan adanya campur tangan kekuasaan politik dalam proses penegakan hukum. Hal ini menyebabkan proses hukum berjalan lambat dan seringkali tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Selain itu, ada faktor lain yang turut berkontribusi pada ketidakadilan ini, yakni budaya impunitas. Banyak pelaku pelanggaran HAM yang hingga kini masih bebas berkeliaran dan bahkan menduduki posisi penting di pemerintahan. Budaya impunitas ini menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. "Impunity breeds injustice," kata José Ramos-Horta, peraih Nobel Perdamaian. Ketidakadilan yang dibiarkan tanpa hukuman hanya akan melahirkan ketidakadilan baru.

Dampak dari ketidakadilan ini sangat luas. Bukan hanya pada keluarga korban yang harus terus menunggu keadilan, tetapi juga pada masyarakat luas yang semakin kehilangan kepercayaan pada sistem hukum dan pemerintahan. Ketidakadilan ini juga menghambat upaya perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Bagaimana kita bisa berharap pada perlindungan HAM yang lebih baik jika kasus-kasus besar seperti ini saja tidak terselesaikan?

Data statistik juga menunjukkan betapa buruknya penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dari sekian banyaknya kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak 1965, hanya sedikit yang telah diselesaikan di pengadilan. Data ini menunjukkan betapa rendahnya komitmen pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus tersebut.

Dalam situasi seperti ini, perlu ada perubahan yang mendasar dalam sistem hukum dan pemerintahan kita. Penguatan independensi lembaga peradilan, penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu, dan pemberian perlindungan yang memadai bagi para pejuang HAM adalah beberapa langkah yang perlu diambil. Selain itu, penting juga untuk mengakhiri budaya impunitas dan memastikan bahwa setiap pelanggaran HAM mendapatkan penanganan yang serius.

Munir dan Wiji Thukul adalah simbol perjuangan HAM di Indonesia. Ketidakadilan yang mereka alami adalah cerminan dari masalah yang lebih besar dalam sistem hukum dan pemerintahan kita. Dengan mengingat dan memperjuangkan keadilan bagi mereka, kita bukan hanya memperjuangkan hak mereka, tetapi juga memperjuangkan masa depan yang lebih adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya