Dari Kesetaraan Kuno ke Ketimpangan Modern: Akal Budi dan Peranannya dalam Masyarakat

Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga
Dari Kesetaraan Kuno ke Ketimpangan Modern: Akal Budi dan Peranannya dalam Masyarakat 19/01/2025 29 view Budaya CounterCurrents

Manusia berasal dari kata Latin mens, yang berarti berpikir, berakal budi, atau makhluk yang memiliki akal budi. Akal budi yang dimiliki manusia tidak serta-merta ada, melainkan diberikan oleh suatu entitas transendental, yaitu Tuhan. Dengan akal budi ini, manusia mampu melakukan berbagai hal yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk lainnya, seperti menulis, mencipta, dan menemukan hal-hal baru. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi di antara makhluk lainnya karena akal budi yang dimilikinya.

Akal budi memberikan manusia kemampuan untuk merenung, menalar, dan memahami dunia di sekitarnya. Lebih dari itu, akal budi mendorong manusia untuk terus berevolusi menjadi makhluk yang lebih baik, baik melalui inovasi maupun pengembangan moral. Sebagai contoh, manusia mampu mengembangkan teori-teori ilmiah, seperti hukum gravitasi, dan menciptakan teknologi yang merevolusi kehidupan. Namun, kemajuan yang dibawa oleh akal budi tidak sepenuhnya bebas dari konsekuensi negatif. Sering kali, akal budi digunakan untuk mendukung sifat egoistik manusia dan memperkuat dorongan untuk memiliki sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan dampaknya terhadap orang lain. Egoisme adalah sifat dalam diri manusia yang mengutamakan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan orang lain. Sementara itu, kepemilikan pribadi, yang awalnya hanya mencakup kebutuhan dasar, kini meluas menjadi simbol status yang mendorong kesenjangan sosial.

Untuk memahami bagaimana manusia seharusnya berperilaku sesuai dengan hakikatnya, kita dapat merujuk pada pemikiran Lewis Henry Morgan dalam bukunya Ancient City. Morgan, melalui penelitian antropologinya terhadap suku Iroquois dan suku Aborigin, menyatakan bahwa manusia pada dasarnya bersifat egaliter atau setara. Sebelum era Neolitikum, masyarakat manusia hidup dengan nilai kesetaraan meskipun terdapat pembagian kerja. Pembagian ini tidak menciptakan hierarki, melainkan mendukung keberlangsungan hidup bersama, di mana setiap individu memiliki peran yang sama pentingnya dalam komunitas.

Akal budi yang diberikan oleh Tuhan seharusnya tidak menjadi alasan untuk menciptakan sifat egoistik dan kepemilikan pribadi yang berlebihan. Sebaliknya, akal budi adalah sarana untuk memperkuat nilai-nilai kesetaraan dan kerja sama, sebagaimana ditemukan pada masyarakat kuno yang diteliti Morgan.

Pemikiran Morgan juga sejalan dengan pandangan filsuf John Locke. Locke, yang dikenal sebagai salah satu tokoh utama filsafat modern, menyatakan bahwa manusia pada hakikatnya adalah teman bagi sesamanya. Locke meyakini bahwa setiap individu, dalam keadaan alamiah, hidup dalam kedamaian dan persaudaraan. Menurut Locke, hakikat manusia yang bersifat sosial dan saling peduli terancam oleh dorongan kepemilikan pribadi yang berlebihan dan kecenderungan untuk memanfaatkan orang lain demi keuntungan pribadi.

Dalam masyarakat modern saat ini, penting untuk kita kembali merenungkan dan memahami kembali hakikat manusia seperti yang dikemukakan oleh Locke dan Morgan. Nilai kerja sama dan kesetaraan yang ada dalam masyarakat kuno seharusnya menjadi landasan kita untuk bertindak dalam kehidupan sehari hari. Namun, tantangan yang dihadapi masyarakat modern adalah bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diterapkan di tengah budaya individualisme dan kompetisi yang semakin dominan.

Kesetaraan yang dulu menjadi prinsip utama dalam masyarakat praneolitik telah tergantikan oleh stratifikasi sosial yang tajam. Kepemilikan pribadi, yang awalnya bertujuan memenuhi kebutuhan dasar, kini sering kali menjadi alat untuk menunjukkan kekuasaan dan status sosial. Akibatnya, kesenjangan antara individu semakin melebar, dan rasa kebersamaan yang menjadi ciri khas manusia sebagai makhluk sosial mulai terkikis.

Namun, bukan berarti semua harapan telah hilang. Justru di tengah tantangan ini, manusia memiliki peluang untuk menggunakan akal budi mereka demi menciptakan perubahan. Teknologi dan inovasi yang selama ini dianggap sebagai pemicu ketimpangan, misalnya, dapat diarahkan untuk mendukung inklusi dan kesetaraan. Penggunaan teknologi untuk pendidikan, kesehatan, dan akses informasi adalah contoh bagaimana kemajuan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Selain itu, ada kebutuhan mendesak untuk membangun kembali rasa solidaritas dan empati dalam masyarakat. Hal ini dapat dimulai dengan mengedepankan nilai-nilai komunitas dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat individu maupun kolektif. Misalnya, pendekatan berbasis komunitas dalam menyelesaikan masalah sosial dapat menjadi alternatif dari model individualistik yang hanya berorientasi pada keuntungan pribadi.

Locke dan Morgan sama-sama mengingatkan kita bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang dirancang untuk hidup berdampingan dengan sesamanya. Nilai-nilai kerja sama, persaudaraan, dan kesetaraan tidak hanya menjadi warisan dari masyarakat kuno, tetapi juga kunci untuk membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, kebangkitan hakikat manusia sebagai makhluk berakal budi dan bersosial memerlukan refleksi mendalam dari setiap individu. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita menggunakan akal budi kita untuk membangun dunia yang lebih baik, atau justru untuk memperkuat egoisme dan ketimpangan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah peradaban kita ke depan—apakah kita akan terus terjebak dalam siklus ketidakadilan, atau kita mampu kembali pada hakikat manusia yang sejati. berikan nilainya

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya