Dari Bunuh Diri Hingga Kecanduan Gadget: Catatan Kesehatan Mental Tahun 2019

Akademisi Psikologi
Dari Bunuh Diri Hingga Kecanduan Gadget: Catatan Kesehatan Mental Tahun 2019 28/12/2019 1638 view Lainnya pixabay.com

Tahun 2019 segera berakhir, menutup bilangan belasan pada abad 21 ini dan menggantinya dengan bilangan puluhan. Bersamaan dengan itu, dievaluasi pula apa-apa yang terjadi setahun ke belakang, sambil mencanangkan resolusi untuk tahun berikutnya.

Kesehatan mental Indonesia menjadi salah satu topik yang menarik untuk dilihat ulang. Jika menengok catatan itu setahun ke belakang, rasanya kita harus menghela nafas panjang. Betapa tidak, kita akan disuguhi buramnya rapor kesehatan mental negara kita.

Bunuh diri masih menjadi penyumbang tinta merah paling utama dalam rapor kesehatan mental kita. Beritagar.id bahkan menulis berita bombastis dengan tajuk "Tiap Satu Jam, Satu Orang Indonesia Bunuh Diri" pada September lalu.

Mereka mencatat bahwa sejak Januari hingga September 2019 telah terjadi 302 kasus bunuh diri dengan frekuensi tertinggi pada bulan Januari dan Februari, yaitu 55 kasus.

Angka ini belum termasuk kejadian bunuh diri yang juga marak terjadi dari Oktober hingga Desember. Pada pertengahan Desember lalu misalnya, Detik.com memberitakan kejadian bunuh diri memilukan yang dilakukan oleh satu keluarga.

Meskipun demikian, banyak pihak meyakini bahwa fenomena bunuh diri di Indonesia bak gunung es yang terlihat pucuknya saja. Artinya ada bagian besar dari gunung tersebut yang belum tampak. Tabu dan malu kerap menutupi kasus bunuh diri dari sorotan media.

Tingginya angka bunuh diri sebenarnya bukan hanya masalah yang dihadapi Indonesia, tetapi dunia juga sedang menghadapi persoalan serupa. Hal itu terbukti dari laporan WHO yang menyebutkan ada 800.000 orang meninggal bunuh diri tiap tahunnya di seluruh dunia, yang berarti ada satu orang bunuh diri tiap 40 detik. Berangkat dari itu pula, WHO mengangkat tema “Pencegahan Bunuh Diri” pada hari kesehatan mental dunia yang diperingati 10 Oktober lalu.

Psychology Today, salah satu media rujukan utama untuk ilmu psikologi, menguraikan bahwa penyebab seseorang melakukan bunuh diri adalah karena masalah mental, terutama depresi. Tidak hanya menihilkan harapan, depresi juga membuat orang merasa yakin bahwa kematiannya akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Baik untuk dirinya, maupun orang di sekitarnya.

Selain bunuh diri, masalah kesehatan mental yang mengemuka tahun 2019 adalah perundungan dan kesepian. Rilis UNICEF September lalu dalam surveinya kepada 170.000 responden usia 13-24 tahun di 30 negara, termasuk Indonesia, mengungkap bahwa sepertiga dari mereka pernah menjadi korban cyberbullying.

Sejalan dengan UNICEF, survei Program for International Student Assessment (PISA) pun mengungkap hal yang sama. Dalam rilisnya awal Desember lalu disebutkan bahwa 41% siswa di Indonesia mengaku pernah dibully, setidaknya beberapa kali dalam sebulan.

Isu kesehatan mental yang tidak kalah mengejutkan dari temuan PISA adalah fenomena kesepian yang ternyata dirasakan oleh 17% siswa Indonesia. Hal ini sekaligus merubah peta kesepian yang selama ini cenderung berkutat di negara-negara dengan kultur individualis dan mayoritas dirasakan oleh lansia.

Fenomena ini menjadi menarik untuk dicermati. Dulu fenomena kesepian pada lansia terjadi karena kuantitas dan kualitas hubungan interpersonal mereka yang semakin tergerus, baik dengan pasangan (ditinggal mati), anak, saudara, maupun rekan kerja. Maka sebenarnya menjadi wajar kalau yang demikian itu membuat mereka kesepian.

Akan tetapi menjadi tidak wajar jika fenomena kesepian kini juga menjalar di kalangan anak sekolah, yang mana jumlah teman sebaya sedang melimpah ruah. Bahkan kedekatan dengan teman sebaya sudah sejak lama melekat sebagai ciri sifat mereka. Dan ketidakwajaran itu menjadi berlipat karena Indonesia dikenal sebagai negara kolektif yang senang melakukan banyak hal bersama-sama.

Namun rupanya kemajuan zaman merubah asumsi-asumsi tersebut. Adalah Jenna Clark, Sara Algoe, dan Melanie Green dalam artikelnya yang berjudul Social Network Sites and Well-Being: The Role of Social Connection yang membongkar asumsi lama dengan penemuan barunya.

Dalam penelitian yang melibatkan mahasiswa sebagai sampel itu, mereka mendapati bahwa penggunaan media sosial seperti Facebook dapat membuat orang merasa kesepian. Banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya membuat orang memiliki waktu yang semakin sedikit untuk membangun persahabatan di dunia nyata.

Alih-alih pergi keluar dan berinteraksi dengan orang lain, anak zaman sekarang cenderung lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar gadget mereka. Pun kalau mereka terlihat berkumpul, masing-masing sibuk dengan gadgetnya sehingga tidak ada tukar menukar percakapan di dunia nyata. Kurangnya interaksi tersebut menimbulkan perasaan terisolasi.

Terakhir, isu kesehatan mental yang juga sempat ramai diperbincangkan tahun 2019 adalah fenomena kecanduan gadget pada anak.

Penelusuran sederhana saya tentang anak yang dibawa ke RSJ karena kecanduan gadget selama tahun 2019 menghasilkan statistik berikut: belasan anak di RSJ Bogor, 35 anak di RSJ Surakarta, 8 anak di RSJ Semarang, belasan anak tiap bulan di RSJ Cisarua dan secara umum ada ratusan anak di Jabar yang masuk RSJ.

Tentu ini adalah fenomena yang menyedihkan, bukan hanya bagi korban dan orangtuanya, tetapi juga bagi kita. Betapa gadget telah merenggut keindahan masa kanak-kanak dan menggantinya dengan keindahan semu yang merusak.

Catatan kesehatan mental di atas mengantarkan kita pada dua kesimpulan. Pertama, anak menjadi kelompok yang sangat rentan dengan permasalahan kesehatan mental. Kedua, gadget menjadi sebab dari banyak gangguan mental tersebut. Artinya ada benang merah antara anak, gadget, dan gangguan mental.

Hal ini membuat tantangan yang dihadapi para pegiat kesehatan mental semakin berat karena biar bagaimanapun gadget menjadi bagian kehidupan manusia zaman sekarang. Terlebih bagi generasi Z yang kerap disebut digital native. Memisahkan gadget dengan mereka adalah kemustahilan.

Oleh sebab itu, para pegiat kesehatan mental perlu menemukan solusi integratif yang tidak hanya menjauhkan anak dari bahaya gadget, tapi juga mendekatkan anak pada manfaatnya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya