Cegah Ideologi Radikal dengan Paradigma Teoantroposentris dalam Beragama

mahasantri mahad aly situbondo
Cegah Ideologi Radikal dengan Paradigma Teoantroposentris dalam Beragama 09/06/2023 125 view Agama wikipedia.org

Salah satu corak pemikiran kaum radikal adalah pemahaman yang kaku dan literalistik terhadap ajaran agama. Dengan semangat beragama yang bergejolak, mereka memahami dan menjalankan ajaran agama tanpa melihat substansi dari ajaran agama. Semua narasi keagamaan mereka pahami secara mentah-mentah tanpa mempertimbangkan aspek lain dan substansi dari narasi keagamaan tersebut.

Dengan latar belakang seperti itu, wacana keagamaan yang mereka bangun selalu diproyeksikan untuk kemaslahatan Tuhan (dalam pandangan mereka). Mereka melakukan monopoli kebenaran dengan menganggap apa yang mereka suarakan merupakan representasi dari kehendak Tuhan. Akibatnya, tuduhan sesat dan melenceng dari ajaran Tuhan kerap kali ditujukan kepada orang-orang yang tak sepaham dengan mereka.

Disisi lain, sebagian kaum muslim memahami agama secara liberal dan lepas. Tidak seperti kelompok radikal yang tekstualis dan kaku dalam memahami agama, mereka justru berani keluar dari nilai-nilai sakralitas agama.

Dalam kajian filsafat, kecenderungan beragama kaum radikalis di atas didasari oleh paradigma teosentris. Yaitu suatu gagasan yang menjadikan Tuhan sebagai landasan utama dari segala wacana dan tindakan yang dilakukan.

Sedangkakan pola pikir kelompok liberalis lebih banyak dipengaruhi oleh paradigma antroposentris. Paradigma ini menjadikan manusia itu sendiri sebagai pusat dari setiap wacana dan aksi yang dibangun. Mereka berani mengubah diktum-diktum keagamaan yang sudah qath’i karena mengklaim sudah tidak maslahat.

Radikalisme (dalam beragama) berusaha menggiring kepada pemahaman literal yang kaku. Masalahnya terjadi ketika pemahamannya tersebut disosialisasikan kepada umum secara membabi buta dan tidak jarang dengan tindakan-tindakan anarkis. Hal ini tentu diawali oleh keyakinan bahwa kebenaran mutlak berada di pihak mereka, sedangkan pihak yang lain pasti salah.

Di sisi lain, ideologi liberalisme juga dapat membawa dampak buruk bagi masyarakat. Terutama ketika para pendukung ideologi ini telah berani melewati batas-batas qath’i dan teologi dalam agama.

Di sinilah pentingnya moderasi beragama. Dengan corak pemikiran yang moderat, kita tidak akan mudah terjebak ke dalam paham radikalisme yang jumud dan anarkis. Di samping itu, kita juga punya pijakan kuat yang mampu memproteksi kita agar tidak tergelincir kepada liberalisme yang notabene sekuler.

Paradigma Teoantroposentris sebagai Basis Moderasi Beragama

Dalam KBBI, istilah paradigma dimaknai sebagai suatu model dalam ilmu pengetahuan atau sebuah keerangka berfikir. Menurut Thomas Kuhn, pencetus istilah paradigma, paradigma adalah seperangkat aturan, konvensi, dan cara pandang yang menjadi dasar bagi suatu disiplin ilmu.

Teoantroposentris adalah pandangan atau keyakinan bahwa manusia dan Tuhan (teos) berada di pusat segala-galanya, atau bahwa manusia adalah makhluk yang paling penting di alam semesta dan memiliki peran yang sangat istimewa. Pandangan ini berasal dari gabungan kata "teo" (yang berarti Tuhan), "anthropo" (yang berarti manusia), dan "sentris" (yang berarti pusat), sehingga secara harfiah berarti "pusat manusia dan Tuhan".

Dengan demikian, paradigma teoantroposentris merupakan cara pandang atau kerangka berfikir yang menjadikan Tuhan dan manusia sebagai poros secara terintegrasi.

Dalam kajian keilmuan, paradigma menempati posisi yang sangat penting sebab ia menjadi world view yang menentukan perspektif dan orientasi dari suatu pandangan dan tindakan. Ia berperan mengkonstruksi bangunan suatu keilmuan atau sebuah pemikiran.

Paradigma teoantroposentris muncul untuk menjawab krisis-krisis atau falsifikasi yang terjadi pada dua paradigma lainnya, yaitu paradigma teosentris dan paradigma antroposentris. Paradigma teosentris menjadikan Tuhan (kepentingan Tuhan) sebagai pusat wancana. Segala tindakan dan wacana yang berkembang diproyeksikan untuk membela kepentingan Tuhan.

Berbeda dengan teosentris, paradigma antroposentris justru berusaha menafikan keterlibatan Tuhan dalam setiap wacana dan tindakan manusia. Paradigma ini membangun kerangka berfikir yang humanis, artinya manusia merupakan pusat segalanya. Setiap wacana, tindakan dan aturan dibuat hanya untuk kepentingan manusia, tanpa sedikitpun memperhatikan aspek keTuhanan. Dalam tradisi barat, paradigma ini lahir sebagai antitesis terhadap paradigma teosentris yang diadopsi oleh otoritas gereja pada waktu itu.

Dalam kajian-kajian keislaman, kita juga merasakan adanya pertarungan antara berbagai paradigma di atas. Misalnya, kita menyaksikan fenomena beragama yang puritan dan konservatif yang mengklaim dirinya sbagai pembawa kebenaran hakiki. Mereka memperalat otoritas agama untuk menjustifikasi setiap tindakan, wacana dan narasi yang mereka bangun. Muslim puritan, kaum radikalis, jihadis dan kawan-kawannya biasanya menggunakan paradigma teosentris sebagai kerangka berfikir.

Selain fenomena puritanisme dan radikalisme, kita jumpai pula fenomena liberalisme. Paham ini biasanya terasa lebih humanis ketimbang kelompok pertama, tetapi tidak jarang juga mereka lepas kendali. Artinya, meski tujuan mereka adalah memanusiakan manusia, tetapi acap kali lepas dari kendali agama sehingga mereka bertindak dan berfikir tanpa pijakan teologis yang kuat. Mereka sengaja atau bahkan tanpa sadar ingin mencerabut umat dari batasan-batasan qath’i dalam agama.

Nah, paradigma teoantroposentris hadir untuk manjawab tantangan-tantangan yang tidak bisa diselesaikan oleh paradigma sebelumnya. Dalam kajian filsafat ilmu, tantangan-tantangan atau anomali-anomali tersebut kemudian berkembang menjadi krisis paradigmatis. Krisis yang tidak mampu dijawab oleh paradigma lama akan meniscayakan lahirnya paradigma baru untuk melengkapi atau bahkan mengganti paradigma yang ada sebelumnya.

Penerapan paradigma toantroposentris dalam kajian-kajian keislaman akan melahirkan sikap moderat dalam beragama. Dengan kerangka berfikir seperti ini, kita tidak hanya memandang agama sebagai norma-norma keTuhanan yang konstan tetapi juga sebagai norma yang diperuntukkan bagi kesahteraan manusia.

Gerakan moderasi beragama yang terkonstruk oleh paradigma teoantroposentris berusaha melakukan integrasi antara wahyu dan akal, norma dan nomos, serta teks dan konteks. Ia tidak abai terhadap aspek kemanusiaan sebagaimana kaum radikalis, tetapi juga tidak lepas dari pijakan-pijakan agama sebagaimana kelompok liberalis.

Akhir kata, ajaran islam –meminjan istilah K.H. Afifuddin muhajir- terdiri dari perpaduan antara kelenturan dan ketegasan. Artinya, ada beberapa aspek dalam agama yang sifatnya ‘lentur’ sehingga berpotensi untuk berubah. Namun disisi lain, agama juga mengandung sesuatu yang ‘tegas’ yang bersifat konstan. Wallahu a’lam

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya