Catatan Redaksi: Ruang Belajar di Rumah
Setiap pekan, di hari Jumat, The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.
Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Supriyadi membahas dilema pelaksanaan sistem belajar dari rumah atau yang biasa disebut sebagai Studi From Home (SDH). Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para pembaca milenial.
Selamat Membaca!
New normal di beberapa daerah Kabupaten/Kota akan segera diberlakukan. Ini berarti bahwa aktivitas di luar rumah kembali boleh dilaksanakan namun tetap berpedoman pada protokol kesehatan yang telah ditentukan.
Namun demikian dalam penerapan new normal ini nampaknya belum diberlakukan di sektor pendidikan. Jokowi melakukan himbauan bahwa sebaiknya akan tetap belajar dari rumah sampai akhir tahun.
Sebenarnya banyak problematika yang menghantui ruang belajar di rumah ini, baik yang dirasakan oleh siswa, guru, maupun orang tua siswa itu sendiri.
Bagi siswa terkadang mereka tidak merasa enjoy, karena biasanya mereka berada di ruang kelas dalam menyerap ilmu yang diajarkan oleh sang guru. Namun dengan adanya penundaan masuk sekolah maka si siwa harus kembali belajar dari rumah, menunda bertemu dengan kawan-kawan sepermainan dan merasakan kembali tugas-tugas yang datang bertubi-tubi dari guru kelas maupun guru mata pelajaran.
Banyaknya tugas yang harus dikerjakan siswa selama belajar dari rumah tentunya membuat beban si anak dan juga orang tua yang mendampingi semakin berat. Di tambah lagi rasa bosan yang dimiliki anak selama di rumah saja membuat belajar dari rumah terasa kurang enjoy dan kurang nyaman.
Belajar di rumah bagi anak usia sekolah, juga bukan sebuah jaminan bahwa anak itu terus berada di rumah tidak bermain-main dengan anak-anak seusianya di lingkungan rumahnya. Sebagai contoh anak-anak tetangga kami yang sebenarnya harusnya belajar dari rumah, namun karena mungkin bosan di rumah saja akhirnya mereka juga berkumpul dan bermain dengan teman-teman seusianya di lingkungan rumah kami, tanpa memperhatikan social distancing, memakai masker dan protokol kesehatan yang lainnya dan juga tanpa pengawasan dari orang tua mereka. Mereka asyik bermain di luar rumah. Bermain bola, bermain sepeda, bermain layang-layang dan sejenisnya. Intinya mereka berkumpul dan berkerumun.
Sekilas belajar dari rumah juga menghemat biaya yang dikeluarkan oleh orang tua. Biaya transportasi untuk pulang dan pergi ke sekolah serta biaya uang jajan dan uang bermain lainnya, sepertinya tidak perlu dikeluarkan sebab anak-anak tak perlu pergi ke sekolah. Logika ini sepertinya benar, namun demikian tidak seluruhnya benar, sebab selama belajar dari rumah orang tua harus mengeluarkan uang pulsa atau paket data yang tak sedikit terutama untuk digunakan dalam proses belajar mengajar dengan guru serta mengirimkan tugas-tugas secara online.
Kerepotan lain yang dialami peserta didik adalah mengenai jaringan internet yang belum merata di negeri ini. Banyak daerah-daerah di pelosok negeri ini yang belum terjangkau dengan internet. Ada berita yang menyebutkan bahwa untuk mengikuti belajar online seorang siswa harus naik pohon, naik bukit atau berjalan berkilo-kilo meter guna mendapatkan sinyal jaringan internet. Intinya pada daerah-daerah ini belajar dari rumah ternyata sungguh tidak efisien bahkan membuat repot.
Dari sisi orang tua juga ada pendapat yang terbelah. Sebagian besar mereka menginginkan anaknya tetap berada di rumah karena kondisi penyebaran virus corona masih berlangsung. Namun hal ini juga terkesan dilematis. Ini tentunya disebabkan bahwa kondisi sosial ekonomi orang tua bermacam-macam. Bagi orang tua dimana memiliki asisten rumah tangga atau hanya salah satu orang tua yang bekerja, maka masih ada orang yang mendampingi anak belajar. Barnag kali ini tidak tidak menjadi persoalan yang serius.
Namun jika kedua orang tua sama-sama bekerja, apa lagi new normal akan segera diterapkan di beberapa Kabupaten/Kota sementara mereka tidak punya asisten rumah tangga yang menemani anak belajar di rumah saja. Ini akan menjadi dilema tersendiri. Terlebih jika anak tersebut berada pada lingkungan sigle parent. Menjadikan anak tidak ada yang mendampingi dalam belajar.
Untuk itu jikalau belajar dari rumah benar-benar diperpanjang sampai akhir tahun, maka sepertinya menjadi beban berat bagi para praktisi dunia pendidikan terutama guru. Guru harus benar-benar kreatif dan inovatif dalam mendesaina dan mempraktekkan proses belajar mengajar melalui online.
Untuk hal itu saya teringat pada teman saya yang menjadi guru, ketika saya tanya bagaimana membuat siswa belajar menyenangkan namun juga memiliki output yang berkualitas ketika belajar di rumah saja? Dia menjawabnya dengan santai. Kami memberi tugas yang outputnya bisa terukur dan juga bermanfaat seperti memberikan tugas prakarya atau kerajinan dimana hasinya nanti bisa dikirim ke guru untuk diberi penilaian. Mungkin ini bisa dipraktekkan oleh guru-guru di Sekolah Menengah Kejuruan, tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah umum dari tingkat SD sampai dengan SMA? Bisakah hal ini diterapkan?
Di sisi lain, seorang ibu curhat kepada kami, beliau bilang ini anak saya masih kecil dikasih tugas dengan output sebuah Novel? Ibunya saja belum tentu bisa menyelesaikan tugas ini ataupun kalau bisa butuh waktu berbulan-bulan untuk sebuah novel. Ini hanya dalam jangka waktu minggu saja. Saya tertawa kecil mendengar hal itu. Semoga pandemi corona cepat berlalu.
Artikel Lainnya
-
118616/04/2021
-
80715/06/2021
-
167907/07/2020
-
Sanggahan Stigma Negatif Filsafat Ala Al Kindi
28630/05/2024 -
Birokrasi Indonesia saat Pandemi Bebaskah dari Patologi?
121713/04/2022 -
Kinerja ASN dan Kualitas Birokrasi Kita
53030/03/2022