Catatan Redaksi: Pilkada Oh Pilkada
Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.
Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Fajar Ruddin membahas mengenai pergunjingan publik terkait politik dinasti dalam Pilkada. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.
Selamat membaca !
Awan mendung bergelayut di langit sore saat saya dan tiga orang lain terlibat pembicaraan di sebuah warung. Mungkin akan lebih tepat kalau saya menyebut diri ini sebagai pengamat karena memang di kesempatan itu saya tidak banyak bicara. Hanya menyimak dan merespon obrolan mereka seperlunya. Putra batita saya yang sedang lincah-lincahnya menarik sebagian besar fokus saya.
Meskipun cuaca mendung, tapi obrolan tiga orang di warung itu terbilang panas. Dan obrolan apalagi yang bisa bikin urat leher pembicaranya mencelat selain obrolan politik? Kebetulan kota kami akan melaksanakan Pilwalkot beberapa hari lagi, sebagaimana juga kota-kota lain. Artinya, selama beberapa hari ke depan, jika ada tiga orang itu di warung, sudah bisa dipastikan obrolannya tentang itu-itu juga. Dan panas!
“Udah pasti Si D yang menang. Orang dia ponakannya mantan gubernur. Dari dulu juga yang nguasain daerah kita keluarganya dia” seru orang pertama kepada orang ketiga yang jelas-jelas mendukung E.
Memang ada benarnya omongan orang pertama itu. Provinsi kami yang baru dimekarkan dua dasawarsa lalu memang seolah menjadi milik satu keluarga. Agenda Pilkada tak ubahnya seremonial penyambutan anggota keluarga baru di kursi eksekutif. Bahkan tidak hanya eksekutif, penempatan “keluarga paduka” konon merasuk sampai ke tulang halus kedinasan juga. Terkait hal ini, teman saya dulu pernah berbagi pengalamannya.
“Susah bro, isinya orang-orang dia semua” keluhnya saat saya tanya apakah dia mendapat posisi di dinas tempatnya bekerja. Obrolan itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Sekarang dia sudah tidak bekerja di dinas itu lagi. Entah karena mengundurkan diri atau sebab lain.
Kentalnya aroma “keluarga paduka” di tiap jengkal wilayah membuat kami bingung dan bertanya-tanya; “Jangan-jangan selama ini kami memang sedang numpang hidup di rumah keluarga paduka yang kebetulan dinamai provinsi?” Tetapi lamunan retoris saya itu teralihkan ketika mendengar seloroh orang kedua.
“Sekarang mah gak peduli siapa yang menang. Mau D, E, atau F, semuanya sama aja. Yang menang ujung-ujungnya G [menyebut nama perusahaan besar]. Karena dia yang modalin” ucapnya yakin, bagai bintang paling benderang di ILC.
Entah dari mana orang kedua mendapat manuver simpulan itu. Tetapi bagi saya sangat menarik menyimak obrolan warung ini. Diskusi ILC ala warung kopi menggambarkan betapa rakyat semakin cerdas. Asal tau saja, tiga orang yang berdebat tadi sama sekali tidak memiliki latar belakang politik. Saya tau betul apa yang mereka “pegang” sehari-hari. Tanpa sedikit pun ada maksud merendahkan profesi mereka tentu saja.
Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa informasi yang dulu aksesnya terbatas untuk golongan tertentu, kini menjadi tak bersekat berkat kemajuan teknologi. Masyarakat semakin melek dengan kondisinya, seperti yang ditunjukkan ketiga orang tersebut.
Pada seloroh mereka itu saya menangkap ada kondisi yang sudah disadari sekaligus juga terselip nada keputusasaan. Ada sikap masa bodoh atas apa yang akan terjadi. Nuansa yang bisa jadi senafas dengan hashtag #IndonesiaTerserah yang sempat trending beberapa waktu lalu, meski berbeda konteks.
Sejak gelaran Pilpres 2019, atau mungkin lebih tepat jika saya sebut sejak film Sexy Killers diluncurkan, atmosfir sebagian langit Indonesia memang seperti dinaungi pesimisme. Publik sudah tidak peduli seberapa sengit persaingan kandidat, toh yang menang sudah bisa ditebak. Ada rasa kecewa, sekaligus juga tidak berdaya terhadap apa yang mereka lawan.
Situasi ini sebenarnya riskan. Karena kekecewaan yang tidak tersalurkan di tempat yang tepat, akan mencari muaranya yang lain. Terkait itu, izinkan saya memberi permisalan.
Anggaplah anda seorang suami, kemudian kecewa dan marah kepada teman kantor. Maka saran saya selesaikanlah emosi itu sebelum pulang ke rumah (anda tentu paham maksud kata “selesaikan” di sini. Yang pasti, saya tidak sedang menyuruh anda untuk baku hantam). Sebab emosi yang tidak terselesaikan itu dikhawatirkan bisa bermuara di rumah dengan istri anda sebagai pelampiasannya. Psikologi mengenal kondisi yang demikian dengan sebutan displacement.
Hari-hari ini, mudah bagi kita melihat gejala kekecewaan di tengah masyarakat. Omongan orang “awam” di warung tadi hanyalah salah satu contohnya. Sialnya masyarakat bingung harus dibawa kemana kekecewaan itu.
Jika menyampaikan kekecewaan saja sulit, maka ketidaktauan kepada siapa kekecewaan itu ditujukan adalah kesulitan di level yang lain. Kecewanya sudah di ubun-ubun, tapi objek pelampiasannya tidak jelas. Padahal kekecewaan ini tidak boleh mampat. Dia butuh saluran.
Dalam keadaan begini, displacement sangat mudah terpantik. Rakyat yang kecewa menumpahkan kekecewaannya pada rakyat yang lain. Jadilah rakyat bagai domba yang diadu. Padahal jika energi kekecewaan ini disalurkan di tempat yang tepat dan dengan cara yang jitu, tidak terbayang bagaimana besarnya perubahan yang bisa dihasilkan.
Artikel Lainnya
-
21712/01/2024
-
112914/06/2020
-
170815/09/2019
-
Media Sosial Telah Menjadi Candu?
152824/07/2020 -
Kasus Korupsi Edhy Prabowo dan Penantian Kado Lain dari KPK
156102/12/2020 -
Problematika Praktik Fotocopy E-KTP dan Masa Depan E-Government di Indonesia
83710/07/2022