Catatan Redaksi: Pilkada di Tengah Pandemi
Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.
Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Supriyadi membahas polemik pelaksanaan Pilkada 2020. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.
Selamat membaca!
Keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan Pilkada secara serentak di tengah kasus pandemi korona yang terus meningkat, memiliki ancaman yang serius terhadap penyebaran penyakit ini.
Ancaman bukan hanya pada saat hari-H pencoblosan saja, namun pada saat sosialisasi pelaksanaan Pilkada, masa kampanye, hingga hari-H pencoblosan itu sendiri.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa awal-awal sosialisasi dan juga pendaftaran calon pemimpin daerah pun banyak yang sudah melanggar protokol kesehatan, apa lagi saat kampenye dan hari-H pencoblosan nanti. Bukan tidak mungkin, kasus pelanggaran terhadap protokol kesehatan pun akan jauh lebih banyak. Dan ini, sungguh membayakan terhadap penyebaran virus corona yang mematikan ini.
Aturan dalam tahapan-tahapan pemilihan pilkada memang dibuat seketat mungkin dan diupayakan mentaati seluruh protokol kesehatan. Namun penulis sanksi akan kedisiplinan yang dijalankan baik oleh masa pemilih, masa pendukung maupun oleh para kontestan pilkada tersebut. Bisa jadi, tetap akan ada pertemuan-pertemuan, penggalangan massa yang berpotensi melanggar protokol kesehatan dan berakibat pada penyebaran virus corona yang makin tak terkendali.
Ancaman penyebaran virus corona pada tahapan-tahapan pilkada juga makin serius ketika hingga hari ini masih ada penduduk yang tidak percaya bahwa corona ini benar-benar ada. Masih ada sebagian masyarakat kita yang menganggap bahwa corona adalah hoak dan kebohongan belaka. Hal ini juga bisa makin memperparah potensi penyebaran corona selama tahapan-tahapan pilkada berlangsung.
Untuk itu, pilkada yang akan tetap dilaksanakan pada tahun ini dengan sedikit memaksa harus benar-benar dilaksanakan dengan ekstra hati-hati dengan pengawasan seketat mungkin, agar pesta demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat ini kemudian tidak menjadi bencana rakyat dengan makin banyak rakyat yang terpapar korona.
Yang lain, selain resiko bahwa pilkada tahun ini berpotensi menimbulkan klaster-klaster baru penyebaran virus corona, pilkada tahun ini juga bisa berakibat pada penurunan partisipasi masyarakat dalam ikut pencoblosan dibandingkan pelaksanaan pilkada sebelum pandemi corona mewabah.
Penyebab potensi menurunnya partisipasi pemilih selain karena masih minimnya sosialiasi pilkada yang akan dilaksanakan tahun ini juga bisa diakibatkan oleh masyarakat yang memiliki beban psikologis yang harus berkumpul pada saat pencoblosan.
Masyarakat pasti punya kekhawatiran terhadap penularan virus corona, apa lagi Pilkada yang pemungutan suaranya terpusat di TPS, di mana tempat tersebut adalah tempat berkumpulnya massa para pendukung yang memiliki kesadaran yang berbeda-beda mengenai ancaman Covid-19 ini. Selain ruang TPS, peralatan pencoblosan juga harus dipastikan telah disterilkan.
Idealnya, semua pemilih sebelum melakukan pencoblosan harus dipastikan tidak ada yang membawa virus korona dengan cara melakukan rapid test ataupun juga melakukan swab. Persoalannya jika ini dilakukan akan memerlukan waktu yang akan lama dan juga menghabiskan biaya yang banyak, sebab penduduk yang sudah memiliki hak pilih untuk ikut dalam pencoblosan selama pilkada ini jumlahnya puluhan juta orang.
Ancaman lain yang mengancam pesta demokrasi dalam pilkada tahun ini adalah kemungkinan munculnya politik uang yang makin marak dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelum pandemi korona mengancam. Hal ini bisa dijelaskan bahwa selama pandemi ini banyak masyakat yang terkena dampak langsung ataupun tak langsung yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi.
Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan maupun pendapatan sehingga secara psikologis masyarakat sedang membutuhkan biaya untuk bertahan hidup. Situasi ini memberikan peluang untuk terjadinya politik uang antara para calon dan juga pemilih yang juga sedang membutuhkan uang. Calon membutuhkan suara, sementara pemilih membutuhkan uang.
Untuk itu kita berharap bahwa para pemilih, memilih berdasarkan hati nurani meskipun dalam keadaan sulit secara ekonomi dan tidak tergiur dengan politik uang sehingga pemimpin yang terpilih adalah benar-benar pemimpin yang berkualitas. Pun demikian para kontestan para calon pemimpin daerah harus bersaing dan bertarung secara kesatria dengan mengutamakan visi dan misi mereka menjadi calon pemimpin daerah bukan meraih suara dengan menggunakan politik uang sebagai senjata.
Akhirnya kita berharap bahwa meskipun pilkada tahun 2020 ini dalam bayang-bayang ancaman corona, menurunnya partisipasi pemilih dan juga ancaman akan maraknya politik uang. Kita berdoa semoga pemimpin yang terpilih adalah putra dan pemimpin terbaik di daerahnya masing-masing. Semoga semua berjalan dengan baik-baik saja.
Artikel Lainnya
-
201015/08/2019
-
150803/12/2020
-
115706/11/2021
-
Tantangan Menulis dan Penguatan Literasi
73903/11/2021 -
Djoko Tjandra, Rumah Kaca, dan Jati Diri Bangsa
195316/07/2020 -
Sumpah Mahasiswa, Jangan Diingkari?
148107/10/2020