Catatan Redaksi: Mental Culas di Kasus Tes Antigen Bekas
Setiap pekan The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.
Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Fajar Ruddin membahas mengenai kecurangan dalam tes antigen Covid-19. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.
Selamat membaca !
Sakit akibat hujaman cotton buds ke lubang hidung masih terngiang di kepala saya. Terakhir kali hujaman itu saya rasakan Selasa lalu (27/4). Itu adalah tes PCR kelima saya sejak delapan hari terakhir (19/4).
Meski sudah berkali-kali melakukan tes usap (swab test) tidak ada istilahnya bagi saya untuk ‘terbiasa’ apalagi ‘berdamai’. Tiap kali dihadapkan pada tes tersebut, tetap saja kecamuk cemas melanda pikiran. Ngilu rasanya membayangkan nakes berbaju hazmat menyodok hidung dan tenggorokan dengan cotton buds.
Tetapi demi menjaga diri dan orang lain dari virus corona, cemas dan ngilu itu harus saya tepikan. Bahkan untuk kondisi tertentu, saya rela menambah porsi tes PCR di lab yang berlainan demi memastikan bahwa saya benar-benar bersih dari Covid-19.
Mungkin terdengar berlebihan, tapi saya kira upaya tersebut masih tergolong wajar mengingat ada pertaruhan nyawa dalam perkara ini. Saya tidak mau menjadi musabab bencana bagi orang-orang di sekitar saya.
Nah sekarang bayangkan, bagaimana perasaan anda jika ikhtiar yang sudah sedemikian serius itu dimentahkan oleh perilaku petugas lab yang ternyata menggunakan alat swab test bekas pakai?
Persis! Seperti itulah perasaan yang dirasakan lebih dari 9.000 korban tes antigen bekas pakai di Bandara Kualanamu saat ini.
Seperti diberitakan, lima oknum pegawai Kimia Farma di Medan ditangkap karena menggunakan alat tes antigen bekas. Parahnya, kegiatan tersebut telah dilakukan sejak 17 Desember 2020. Seperti tak merasa bersalah, selama lebih dari empat bulan kelima oknum tersebut mempermainkan nyawa manusia. Membuatnya terlihat begitu murah karena ditukar dengan keuntungan rupiah yang tidak seberapa.
Sangat wajar jika kemudian para korban geram. Mereka melakukan tes antigen tersebut bukan hanya bermodalkan uang, tapi juga berharap keamanan dari bahaya corona. Artinya ada kepercayaan yang dititipkan kepada para oknum terkait boleh tidaknya para korban melanjutkan perjalanan. Dan perilaku culas para oknum adalah pengkhianatan terburuk terhadap kepercayaan yang dititipkan itu.
Namun kegeraman itu bukan milik 9.000 korban semata. Saya yakin semua orang yang menaruh perhatian pada permasalahan corona merasakan kegeraman yang sama. Pasalnya selama lebih dari setahun, semua energi telah tercurah untuk menanggulangi COVID-19.
Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari kampanye protokol kesehatan hingga vaksinasi. Meski demikian, pandemi masih belum dapat dikendalikan. Bahkan di beberapa negara corona semakin menggila. Angka kematian 45 ribu jiwa di Indonesia dan lebih dari 3 juta jiwa di seluruh dunia menandakan betapa beratnya perang melawan corona ini.
Tetapi upaya mati-matian para stakeholder dalam menanggulangi Covid-19 dan statistik kematian yang mengerikan itu dinihilkan oleh oknum pendaur ulang alat tes. Seolah-olah, kita berada di satu kapal yang di ambang karam. Satu sisinya berusaha ditambal dari kebocoran dan sisi lainnya sedang mereka lubangi secara perlahan.
Berita buruknya kita tidak tau ada berapa pihak yang mencoba melubangi kapal ini. Sejauh ini baru terdengar berita pemalsuan surat hasil tes. Itupun sayup suaranya. Sebentar muncul, lalu hilang entah kemana. Isu ini baru meledak ketika kasus tes antigen bekas ini terkuak.
Bukan tidak mungkin kasus serupa terjadi juga di tempat lain. Logikanya, kalau pegawai di laboratorium ternama yang berlokasi di bandara saja berani melakukan kejahatan yang demikian, maka mereka yang belum jelas namanya dan berlokasi di antah berantah bisa jadi lebih berani. Karena tidak ada beban harus menjaga nama baik perusahaan. Dan tidak ada perasaan was-was takut ketahuan.
Ini tentu saja buruk. Kasus tes antigen bekas bukan hanya semakin mengaburkan akhir pandemi corona di Indonesia, tapi juga berefek pada psikologi publik terkait penanggulangan Covid-19. Mereka yang sebelumnya peduli dengan permasalahan ini bisa berubah menjadi apatis. Lha buat apa capek-capek menambal kapal, kalau di sisi yang lain sedang dilubangi?
Bagi mereka yang tidak peduli atau menganggap corona sebagai ‘guyonan’ sejak awal, kasus ini akan semakin meneguhkan keyakinan mereka. Bahwa corona hanyalah bisnis yang dijalankan untuk keuntungan segelintir pihak.
Oleh karena itu, pemerintah dan aparat harus mengambil langkah tegas dalam menyikapi permasalahan ini. Minimal ada dua upaya yang bisa ditempuh, pertama, berikan hukuman yang menimbulkan efek jera bagi para pelaku yang sudah tertangkap. Langkah ini diambil supaya publik percaya bahwa pemerintah dan aparat serius dalam menghadapi permasalahan ini. Pemerintah dan aparat harus dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa tindakan oknum tersebut adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat fatal.
Kedua, selidiki dan berantas swab test abal-abal, termasuk juga jasa penerbitan surat hasil tes palsu. Jangan berikan ruang sedikit pun bagi kejahatan yang demikian. Semoga dengan begitu kepedulian masyarakat terhadap penanggulangan Covid-19 segera pulih sehingga pandemi segera berlalu.
Artikel Lainnya
-
123108/12/2021
-
17318/04/2024
-
163224/08/2020
-
World Book Day 2020, Perayaan di Tengah Pandemi
115324/04/2020 -
Lima Hambatan Produktivitas Penulis Pemula
13627/09/2024 -
Kurikulum Merdeka Minus Etika Perubahan Iklim?
99623/07/2022