Catatan Redaksi: Belajar Dari Rumah

Admin The Columnist
Catatan Redaksi: Belajar Dari Rumah 05/06/2020 1007 view Catatan Redaksi Pixabay

Setiap pekan, di hari Jumat, The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.

Kali ini catatan redaksi yang ditulis oleh Bung Supriyadi mengangkat polemik pelaksanaan belajar dari rumah atau yang biasa disebut dengan Study From Home (SFH). Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial di manapun berada.

Selamat membaca!

New normal di beberapa daerah Kabupaten/Kota akan segera diberlakukan. Ini berarti bahwa aktivitas di luar rumah kembali boleh dilaksanakan namun tetap berpedoman pada protokol kesehatan yang telah ditentukan.

Namun demikian dalam penerapan new normal ini nampaknya belum diberlakukan di sektor pendidikan. Jokowi melakukan himbauan bahwa sebaiknya  akan tetap belajar dari rumah sampai akhir tahun.

Sebenarnya banyak problematika yang menghantui ruang belajar di rumah ini, baik yang dirasakan oleh siswa, guru, maupun orang tua siswa itu sendiri.

Bagi siswa terkadang mereka tidak merasa enjoy, karena bisanya mereka berada di ruang kelas dalam menyerap ilmu yang diajarkan oleh sang guru. Namun dengan adanya penundaan masuk sekolah maka si siswa harus kembali belajar dari rumah, menunda bertemu dengan kawan-kawan sepermainan dan merasakan kembali tugas-tugas yang datang bertubi-tubi dari guru kelas maupun guru mata pelajaran.

Banyaknya tugas yang harus dikerjakan siswa selama belajar dari rumah tentunya membuat beban si anak dan juga orang tua yang mendampingi semakin berat. Di tambah lagi rasa bosan yang dimiliki anak selama di rumah saja membuat belajar dari rumah terasa kurang enjoy dan kurang nyaman.

Belajar di rumah bagi anak usia sekolah, juga bukan sebuah jaminan bahwa anak itu terus berada di rumah tidak bermain-main dengan anak-anak seusianya di lingkungan rumahnya. Sebagai contoh anak-anak tetangga kami yang sebenarnya harusnya belajar dari rumah, namun karena mungkin bosan di rumah saja akhirnya mereka juga berkumpul dan bermain dengan teman-teman seusianya di lingkungan rumah kami, tanpa memperhatikan social distancing, memakai masker dan protokol kesehatan yang lainnya dan juga tanpa pengawasan dari orang tua mereka. Mereka asyik bermain di luar rumah. Bermain bola, bermain sepeda, bermain layang-layang dan sejenisnya. Intinya mereka berkumpul dan berkerumun. 

Sekilas belajar dari rumah juga menghemat biaya yang dikeluarkan oleh orang tua. Biaya transportasi untuk pulang dan pergi ke sekolah serta biaya uang jajan dan  uang bermain lainnya, sepertinya tidak perlu dikeluarkan sebab anak-anak tak perlu pergi ke sekolah. Logika ini sepertinya benar, namun demikian tidak seluruhnya benar, sebab selama belajar dari rumah orang tua harus mengeluarkan uang pulsa atau paket data yang tak sedikit terutama untuk digunakan dalam proses belajar mengajar dengan guru serta mengirimkan tugas-tugas secara online. 

Kerepotan lain yang dialami peserta didik adalah mengenai jaringan internet yang belum merata di negeri ini. Banyak daerah-daerah di pelosok negeri ini yang belum terjangkau dengan internet. Ada berita yang menyebutkan bahwa untuk mengikuti belajar online seorang siswa harus naik pohon, naik bukit atau berjalan berkilo-kilo meter guna mendapatkan sinyal jaringan internet. Intinya pada daerah-daerah ini belajar dari rumah ternyata sungguh tidak efisien bahkan membuat repot. 

Dari sisi orang tua juga ada pendapat yang terbelah. Sebagian besar mereka menginginkan anaknya tetap berada di rumah karena kondisi penyebaran virus corona masih berlangsung. Namun hal ini juga terkesan dilematis. Ini tentunya disebabkan bahwa kondisi sosial ekonomi orang tua bermacam-macam. Bagi orang tua dimana memiliki asisten rumah tangga atau hanya salah satu orang tua yang bekerja, maka masih ada orang yang mendampingi anak belajar. Barangkali ini tidak menjadi persoalan yang serius. 

Namun jika kedua orang tua sama-sama bekerja, apa lagi new normal akan segera diterapkan di beberapa Kabupaten/Kota sementara mereka tidak punya asisten rumah tangga yang menemani anak belajar di rumah saja. Ini akan menjadi dilema tersendiri. Terlebih jika anak tersebut berada pada lingkungan sigle parent. Menjadikan anak tidak ada yang mendampingi dalam belajar. 

Untuk itu jikalau belajar dari rumah benar-benar diperpanjang sampai akhir tahun, maka sepertinya menjadi beban berat bagi para praktisi dunia pendidikan terutama guru. Guru harus benar-benar kreatif dan inovatif dalam mendesain dan mempraktekkan proses belajar mengajar melalui online.

Untuk hal itu saya teringat pada teman saya yang menjadi guru, ketika saya tanya bagaimana membuat siswa belajar menyenangkan namun juga memiliki output yang berkualitas ketika belajar di rumah saja? Dia menjawabnya dengan santai. Kami sedang melakukan inovasi pembelajaran jarak jauh dengan melakukan pembelajaran berbasis project. 

Pembelajaran didesain agar dapat dilaksanakan secara fleksibel, terukur, dan menyenangkan. Pembelajaran dilakukan dengan sistem tematik. Satu project melibatkan beberapa guru mata pelajaran yang berbeda. Guru-guru yang terlibat dalam project siswa tersebut berperan sebagai pendamping belajar, konsultan, dan quality control. 

Selanjutnya produk hasil pembelajaran tersebut dinilai oleh guru dan jika memiliki daya jual maka diarahkan untuk bisa dijual baik secara offline secara retail maupun online di marketplace. Mungkin ini bisa dipraktekkan oleh guru-guru di Sekolah  Menengah Kejuruan, tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah umum dari tingkat SD sampai dengan SMA? Bisakah hal ini diterapkan? 

Tentu pelaksanaan pembelajaran berbasis project semacam itu butuh analisis yang sungguh-sungguh dan mendalam dalam perencanaannya. Seperti, analisa terhadap project unggulan di sekolah tersebut, relevansi project dengan kebutuhan masyarakat, standarisasi project, potensi daya jual produk, kompetensi guru dalam memanajemen project. Pembelajaran berbasis project tidak selalu berujung penjualan produk, hal ini disesuaikan dengan jenjang sekolah, karakteristik sekolah, dan tujuan pembelajaran tersebut.  

Di sisi lain, seorang ibu curhat kepada kami, beliau bilang ini anak saya masih kecil dikasih tugas dengan output sebuah Novel? Ibunya saja belum tentu bisa menyelesaikan tugas ini, ataupun kalau bisa butuh waktu berbulan-bulan untuk sebuah novel. Ini hanya dalam jangka waktu minggu saja. Saya tertawa kecil mendengar hal itu. Semoga pandemi corona cepat berlalu.

 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya