Bumi Pun Ingin Lestari
Bumi, salah satu dari gugusan planet dalam sistem Galaksi Bima Sakti yang mengelilingi bintang besar bernama Matahari. Bumi, salah satu noktah dari milyaran benda langit di tata surya dan semesta raya. Keberadaan Bumi, asteroid, planet, dan benda langit lainnya sampai sekarangpun masih diperdebatkan teori terbentuknya, entah itu menurut Teori Big Bang, Teori Isolasi, Teori Keadaan Tetap (Malik dan Haq, 2016). Entah itu diyakini terjadi secara alamiah atau ada kekuatan besar yang telah mencipta-yang diimani sebagai Tuhan-.
Terlepas dari perdebatan tersebut, sejauh ini hanya Bumi yang memiliki kehidupan dan sumber kehidupan yang lengkap dalam tata surya. Meskipun ilmuwan terus melakukan penelitian terhadap planet maupun satelit di tata surya Bima Sakti yang berpotensi memiliki unsur kehidupan, seperti Planet Mars, Satelit Europa milik Planet Jupiter, Satelit Enceladus dan Titan milik Planet Saturnus (Ramadhan, 2020). Lebih jauh lagi di tata surya lain, terdapat Planet Wolf 1061c, Kepler-62e, Gliese 832, Kepler 442b, Proxima Centauri B yang memiliki penunjang kehidupan mirip dengan Bumi (Anggara, 2020).
Bumi kaya gas Oksigen, Nitrogen, Argon, Karbondioksida dan gas lainnya sebagai komponen penyusun udara penopang respirasi makhluk hidup (Subkhan, 2017). Bumi melimpah kandungan asam amino dan H2O atau air sebagai penyambung hidup sebagian besar makhluk Bumi. Cahaya matahari juga tersedia sangat cukup mengingat jarak Bumi ke Matahari relatif lebih dekat dari planet lainnya. Udara, air, dan cahaya, ketiganya merupakan anasir abiotik ekosistem yang saling berinteraksi dengan komponen biotik (makhluk hidup) membentuk kesatuan ekosistem yang padu. Jika komponen dalam ekosistem ini terganggu, pastinya akan ada perubahan yang mempengaruhi makhluk hidup maupun rantai makanannya.
Tahukah anda bahwa dalam perkembangannya, makhluk hidup tidak hanya diklasifikasikan dalam dunia hewan dan dunia tumbuhan saja? Menurut hasil penelitian terbaru Ruggiero, dkk tahun 2015, Taksonomi terbagi dalam 7 Kingdom, yaitu Kingdom Bacteria (Bakteri), Archaea, Protozoa, Chromista (Ganggang), Plantae (Tumbuhan), Fungi (Jamur), dan Animalia (Hewan). Namun, selain 7 Kingdom tersebut, Allen Kuslovic, Andreas Vanilssen, Rogers Nilstrem (2020), menyebut terdapat organisme hidup tak hidup yang digolongkan sebagai “Organisme di Tepi Kehidupan” bernama Virus. Lantas dimanakah posisi manusia dalam taksonomi tersebut? Manusia bernama Latin Homo sapiens yang berarti “manusia modern”. Karena memiliki intelegensi yang tinggi, manusia dikelompokkan dalam Ordo Primata (keluarga besar Kera) yang seterusnya bermuara pada Kingdom Animalia.
Manusia yang diidentifikasi memiliki kecerdasan tingkat tinggi inilah yang menduduki tingkat tertinggi dalam rantai makanan dan memiliki peran terbesar dalam mengelola ekosistem Bumi. Namun lihatlah ulah makhluk pintar ini, atas nama peradaban membuat kerusakan di Bumi. Gunung sebagai pasak utama Bumi untuk tetap kokoh dan solid, dikeruk tanpa upaya konservasi hingga menyisakan ceruk di sekujur wajah bumi.
Hutan yang bermetafora sebagai paru-paru Bumi perlahan namun pasti dilibas tak bersisa. Padahal pepohonan merupakan penstabil perubahan iklim. Karenanya Bumi mulai tak sehat. Secara personifikasi sedikit demam yang diidentifikasi sebagai Global Warming. Es di kutub mulai mencair, fenomena anomali cuaca laiknya hujan lebat, badai, topan terjadi di berbagai belahan Bumi. Hal ini menyebabkan manusia mulai panik, namun tak sedikit yang abai.
Bumi mulai terbatuk dan mengeluarkan ingus, tak jarang letupan gunung berapi di berbagai belahan bumi mengalirkan lendir lahar dan droplet hujan asam berbahaya. Ini yang manusia namakan bencana alam.
Sampah tak layak cerna ditimbun pada tubuh Bumi, hingga menjadi koreng berbau busuk. Laut, sungai dan danau yang menjadi arteri Bumi tercemari oleh limbah, polutan dan sampah mengakibatkan alirannya mengental. Ibarat kolesterol yang menumpuk dan mengakibatkan penyempitan di setiap pembuluh alirannya. Lingkungan yang tercemar akibat ulah manusia berdampak buruk tidak hanya bagi individu manusia namun juga bagi keseimbangan ekosistem makhluk lain. Sesungguhnya Bumiku sedang sakit dan merana. Bumi butuh konservasi!
9R Pengelolaan Sampah Lestari
Lantas, bagaimana cara kita untuk lestarikan Bumi? Upaya global yang paling laik dalam pengelolaan sampah tidak lagi sekedar prinsip 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Menurut greenofficeacademy.com, setidaknya ada 9 prinsip pengelolaan sampah.
Pertama, Rethink atau memikirkan kembali bagaimana upaya kita untuk mengelola sampah pribadi dan memikirkan cara mengurangi dampak lingkungan. Sampah lebih dari apa yang kita buang ke tempat sampah. Sampah adalah segala sesuatu yang berdampak negatif terhadap lingkungan yang digunakan secara sembarangan atau berlebihan.
Kedua, Refuse atau menolak. Katakan ‘tidak! untuk barang plastik sekali pakai’ karena limbah plastik menciptakan polusi udara beracun, pencucian bahan kimia di tanah dan sistem air kita, gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, dan plastik yang berakhir di lautan selama berabad-abad.
Ketiga, Reduse atau mengurangi. Menggunakan produk atau metode yang dapat membantu mengurangi pemakaian lebih sedikit. Mengurangi pemakaian sumber daya baik dengan cara berhemat, mengurangi pola hidup konsumtif. Lebih banyak penggunaan energi menyebabkan lebih banyak emisi karbon dan perubahan iklim.
Keempat, Reuse. Menggunakan barang yang dapat digunakan secara berulang atau dapat diisi ulang. Menggunakan barang bekas pakai yang masih dibisa digunakan.
Kelima, Refurbish atau membaharui lagi. Menjual atau membeli barang-barang preloved atau bekas yang masih layak, meminjam atau menyewa dapat membantu mengurangi sampah.
Keenam, Repair atau memperbaiki adalah upaya pengelolaan dengan cara memperbaiki barang terurama barang elektronik yang masih bisa digunakan daripada membeli baru atau meningkatkan ke model terbaru. Di Indonesia upaya ini masih cukup banyak, terlihat dari mudahnya ditemui tukang reparasi. Namun di negara-negara seperti Amerika dan Eropa sampah elektronik sudah menjadi masalah utama. Dari pada sampah elektronik dibuang ke tempat pembuangan sampah atau insenerator ada baiknya mendaur ulang limbah elektronik karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Ketujuh, Repurpose atau menentukan kembali tujuan, seperti menggunakan dan memanfaatkan barang bekas dengan cara dan metode baru yang kreatif.
Kedelapan, Rot atau pengomposan. limbah makanan berupa bahan organik dari pada dibuang ke tempat sampah menimbulkan bau dan menjadi sarang tikus sebaiknya dikomposkan menjadi pupuk tanaman atau dikelola melalui cara lain seperti pakan ternak.
Kesembilan, Recycle atau mendaur ulang. sampah dipilah menjadi sampah organik dan non organik. Sampah organik dapat didaur ulang menjadi kompos, sedangkan sampah non organik seperti plastik, koran bekas, kain perca dapat didaur ulang menjadi barang yang sama atau ke bentuk lain yang memiliki nilai nilai ekonomi. Namun daur ulang bukanlah solusi utama dari pengelolaan sampah.
Back to nature. Istilah kembali ke alam telah lama lekat di telinga. Reboisasi maupun penghijauan, sedianya ialah menanam tanaman yang memiliki banyak manfaat ekologi, seperti pencegah banjir, penahan air hujan, menyerap air permukaan dan pencegah erosi tanah. Harapannya, dengan upaya kontribusi yang diberikan, maka bumi akan lestari, terjaga dan tetap nyaman untuk ditinggali bersama makhluk hidup lainnya. Mari sayangi Bumi.
Mari menepi menengok Bumi. Mari menepi singgah di Bumi. Ini Bumiku, Bumimu, dan Bumi kita semua. Bumi rumah kita. Jangan jahat pada Bumi.
Artikel Lainnya
-
7707/07/2024
-
214211/02/2020
-
199131/03/2021
-
Rasisme, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pendidikan Karakter
247517/03/2021 -
New Normal dan Geliat Ekonomi Sulawesi Utara
115030/11/2020 -
47625/03/2023