Budaya Vulgar Bermedia Sosial

mahasiswa
Budaya Vulgar Bermedia Sosial 21/10/2021 1057 view Lainnya pixabay.com

Hal yang tidak dapat dibantah oleh semua orang dari berbagai kalangan adalah kemajuan telah mereduksi sifat dan karakter manusia. Seorang filsuf bernama Descartes mengatakan “manusia menjadi manusia adalah kerena rasio atau tindakan berpikirnya”. Pandangan ini adalah dasar yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya “cogito ergo sum”.

Keberadaan manusia ditunjukkan dengan aktivitas berpikir dari manusia itu sendiri. Tidak berpikir berarti tadak meragu-ragukan, tidak pernah mempertanyakan akan sesuatu pun. Pergeseran cara dan bentuk budaya yang berkembang perlahan mengubah dan mengarahkan karakter dari pribadi seseorang.

Hal yang paling tampak dalam perubahan tersebut adalah adalah dalam hal bermedia sosial. Saat seluruh perkembangan hanya berpusat di Eropa, manusia hidup dalam keterbelakangan. Sebagian kecil saja manusia Indonesia yang mengetahui perkembangan yang sedang berkembang di Eropa saat itu.

Media sosial yang pertama kali sampai dan digunanakan di Indonesia adalah surat kabar sederhana seperti Medan Prijaji, jauh setelah bangsa Eropa menggunakannya. Prinsip kolonialisme menyebabkan bangsa terjajah hanya dapat merasakan “sisa” kemajuan yang sudah lama digunakan.

Kini, kemajuan dilihat seolah sudah merata. Contoh konkretnya adalah media sosial yang sudah dikenal hanmpir di seluruh pelosok bumi. Semua orang sudah dapat mengakses segala hal yang ingin diketahui.

Dewasa ini, hal yang menjadi permasalahan adalah maraknya budaya vulgar dalam mem-posting sesuatu di akun media sosial. Tidak lagi dalam hal ketersediaan fasilitas, namun mentalitas yang tumbuh dalam diri seseorang. Sebut saja Facebook, Instagram, atau Tiktok. Tujuan utama aplikasi itu diciptakan adalah menghubungkan atau menciptakan relasi orang-orang yang ada di belahan dunia. Tentunya, disamping kepentingan finansial yang menjanjikan.

Tujuan awal tadi tidak lagi relevan dengan hal yang terjadi pada saat sekarang ini. Hampir semua hal yang ada di media sosial bertujuan mempertontonkan semua hal, bahkan hal yang sangat pribadi. Budaya vulgar menjadi konsumsi umum dalam bermedia sosial. Contoh konkret yang sering ditemui adalah posting-an foto atau video yang mengandung unsur pornografi. Misalnya foto atau video seseorang di dalam kamar hanya menggunakan pakaian serba minim. Hal yang lebih menyedihkan adalah pengguna media sosial terbanyak adalah manusia Indonesia.

Masyarakat Indonesia menghabiskan enam sampai tujuh jam waktunya dengan bermedia sosial. Hal ini adalah kelebihan sekaligus kekurangan yang sangat membahayakan masyarakat Indonesia. Menjadi kelebihan kerena dapat bertahan duduk di depan cahaya radiasi komputer bukan lah hal yang mudah. Namun, menjadi sangat disayangkan bila hanya duduk tanpa menghasilkan sesuatu yang berguna.

Kebanyakan masyarakat Indonesia menghabiskan waktu hanya sekadar hiburan atau mengikuti tren yang sedang berlaku. Tidak bermedia sosial adalah manusia yang kampungan. Selain hal tersebut, juga untuk mencari relasi atau menambah kepopuleran dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mem-posting sesuatu yang vulgar agar ditonton dan disukai oleh banyak orang.

Menurut penulis, hal tersebut disebabkan oleh mental bangsa terjajah yang masih kental dalam diri masyarakat Indonesia. Mengapa demikian? Keunggulan masyarakat Indonesia adalah meniru perkembangan dari negara lain.

Masyarakat Indonesia belum memiliki mentalitas memproduksi sesuatu hal. Salah satu contoh konkret mentalitas meniru tersebut adalah budaya vulgar dalam bermedia sosial. Konsep tersebut adalah milik bangsa Eropa yang menjunjung kebebasan setinggi-tingginya, seperti halnya dalam bermedia sosial.

Pengaruh tersebut marak dan berkembang terutama dalam pemikiran kaum milenial Indonesia. Postingan vulgar yang berbau pornografi tersebut seakan sudah menjadi budaya dan bukan hal yang salah. Berkaca pada budaya dulu, yang mengedepankan kesopanan, dewasa ini hal itu sudah dikhianati.

Kemajuan bukan hanya membawa dampak yang baik dan menguntungkan, namun juga turut berpartisipasi “memusnahkan” nilai-nilai moral yang ditanam sejak dulu. Hal ini tentunya menampilkan suatu dilema tanpa jalan keluar. Memilih menjaga budaya yang baik, namun konsekuensinya adalah jauh dari perkembangan, atau hidup dalam perkembangan yang sangat cepat sekaligus tidak lagi mengenal budaya yang baik.

Hal tersebut adalah pilihan dilematis. Hal yang penting dan harus tetap diingat adalah ungkapan Descartes, “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Kemampuan dan kemauan menggunakan pikiran yang baik akan dapat menjawab pertanyaan dilematis tersebut.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya