Budaya Longgar dalam Kemenangan Prabowo-Gibran
Belum lama ini, tersebar luas film dokumenter Dirty Vote yang dengan rinci menguliti proses penyimpangan etika pencalonan paslon nomor urut dua, Prabowo-Gibran. Meski proses akal-akalan dari pencalonan tersebut nampak terlihat, namun secara hitung cepat, mereka berhasil menang secara meyakinkan. Mayoritas masyarakat tetap memilih paslon yang menyimpang dari etika. Hal ini terjadi, saya pikir karena sebagian besar rakyat Indonesia masih diasuh oleh loose culture (budaya longgar).
Istilah loose culture dipopularkan oleh Gelfand dkk. (2011) dalam studinya yang melibatkan pelbagai partisipan dari 33 negara - tidak termasuk Indonesia. Dalam studi ini, peneliti membagi budaya suatu negara menjadi dua bagian; antara tight culture (budaya ketat) atau loose culture. Dalam budaya ketat, terdapat norma-norma yang kuat dan toleransi rendah terhadap perilaku menyimpang. Sedangkan budaya longgar, terdapat norma-norma yang lemah dan toleransi tinggi pada perilaku menyimpang.
Kemenangan Prabowo-Gibran menjadi bukti masyarakat Indonesia masih tenggelam dalam loose culture, dengan menimbang beberapa karakteristik budaya longgar yang implisit disebutkan Gelfand dkk. Karakteristik pertama, rendahnya regulasi diri masyarakat. Sebagai misal saat pileg hadir, sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian masyarakat kita masih menerima suap atau serangan fajar dari para caleg. Bahkan, ada yang secara terang-terangan meminta dibelikan hal tertentu oleh caleg-caleg tersebut.
Kita lihat cerita komedian Indonesia, Dede Sunandar, yang kemarin mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Bekasi. Dalam suatu siniar "Bukan Umbar Janji" yang tayang di kanal Youtube Trans7 (02/01), Dede menceritakan pengalamannya saat turun dan menggalang suara masyarakat. Ditanyakan oleh Host acara, Andre Taulany, "Banyak yang minta ini nggak, uang atau sembako?" Dibalas oleh Dede, "Kalau misalkan ini mah, tidak bisa dipungkiri ibu-ibu ... kadang ada yang minta gamis 20 orang, ada yang minta masjid Al-Jabbar, bis-nya ke saya ..."
Tragisnya, meski Dede telah banyak mengeluarkan dana untuk kegiatan kampanye, bahkan sampai harus menjual dua mobilnya, ia mesti menelan kekalahan. Diwartakan, hanya beroleh 20 suara. Saya curiga, jangan-jangan nominal suara itu berasal dari emak-emak yang meminta gamis? Jika benar suara tersebut sepenuhnya berasal dari mereka, maka emak-emak itu sebenarnya orang yang 'amanah'. Setidaknya, mereka hanya mendapat satu dosa. Toh, banyak yang diberikan hal tertentu para caleg, hanya mengambil sogokan, dan tidak memilihnya.
Dengan kata lain, sebagian masyarakat cenderung belum kuat regulasi dirinya dan longgar akan penyimpangan perilaku - bahkan mendukungnya. Sementara, dinyatakan Gelfand, "Tinggi-rendahnya tingkat regulasi sosial yang ada pada masyarakat tercermin dalam tinggi-rendahnya regulasi diri pada tingkat individu. Proses psikologis semacam itu secara simultan mencerminkan dan mendukung kekuatan norma sosial dan toleransi terhadap perilaku menyimpang dalam konteks budaya yang lebih luas." Singkatnya, terpilihnya paslon yang un-etichal itu, diawali oleh rendahnya regulasi diri masyarakat.
Karakteristik kedua dari budaya longgar yakni, negara relatif aman dari ancaman ekologis dan perang dengan tetangga. Dalam sejarah, Indonesia belum pernah berperang melawan negara di kawasan ASEAN. Berbeda dengan Korea Utara dan Arab Saudi yang secara tiba-tiba dapat diserang Korea Selatan atau Iran, sehingga budaya ketat yang mengakar. Selain itu, secara ekologis, Indonesia menjadi negara dengan keberlimpahan sumber daya. Masyarakat relatif aman dari kelaparan. Indonesia masih banyak lahan bertani, tersedia air bersih, laut masih berlimpah ikan dan lain-lain. Maka terus eksislah budaya longgar.
Mungkin ungkapan sederhana yang dapat menguraikan mengapa beberapa hal itu menjadi karakteristik budaya longgar adalah, "Yang penting negara aman dan saya bisa makan, alam masih menyediakan. Toh, jika susah makan, dengan memilih paslon ini, anak bisa makan siang gratis, dan saya bakal dapat bansos. Jadi terserah deh paslon ini melanggar etika atau tidak " Tidak berintensi buruk, itu hanya gambaran, supaya jelas uraian. Saumpama gambaran itu sesuai, saya juga tidak menyalahkan rakyat, namun mereka yang mengeksploitasi keadaan untuk menuju tampuk kepemimpinan.
Karakteristik ketiga, lebih terkait dengan institusi sosial-politik yang berlaku dalam suatu negara. Berbeda dengan budaya longgar, dalam budaya ketat, pemerintahannya otoriter, media kurang terbuka dan banyak dikendalikan, serta lebih sedikit hak politik dan kebebasan sipil. Selain itu, institusi keadilan pidana di negara yang berbudaya ketat memiliki stricter punishment (ex. hukuman mati), dan lebih mampu mempertahankan kontrol sosial. Persentase orang yang berpartisipasi dalam aksi kolektif (ex. berdemonstrasi) jauh lebih rendah di negara ketat.
Melihat karakteristik itu, maka dapat secara simpel kita katakan, Indonesia cenderung berbudaya longgar. Meski kini, beberapa pihak menilai bahwa kita berada dalam rezim otoritarian, menimbang gencarnya buisasi pihak-pihak oposisi dan seterusnya. Akan tetapi, saya percaya, itu hanya terjadi pada mereka yang ekspresi dan aktualisasi ke-oposisian-nya telah menabrak norma hukum yang disepakati. Maka, saya anggap, kita masih berada dalam jalan demokrasi, bahkan too democratized (baca: terlalu longgar pada perilaku menyimpang), sehingga akal-akalan hukum terjadi dan seakan menjadi hal lumrah.
Selain hal itu, dalam berbagai aspek lain, saya kira kita sepakat. Memang terdapat beberapa media yang dikendalikan, namun ia dikontrol pemiliknya dan bukan pemerintahan, sehingga mereka dapat bersuara sesuai kepentingannya. Maka kadang, suara yang mereka bawa adalah suara kepentingan pemilik, dan bukan suara rakyat. Adapun terkait aksi kolektif, kita masih dapat menggelarnya besar-besaran, hukuman mati secara perlahan mulai direduksi, dan setiap orang, relatif berhak menunaikan hak politiknya.
Berdasarkan beberapa uraian itu, terlihat bahwa kita negara berbudaya longgar. Meski demikian, budaya ini tidak selalu berarti negatif, dan nampak buruk dalam uraian yang ada. Alih-alih, eksisnya budaya ini, dalam konteks tertentu, justru dapat menjamin kemerdekaan individu. Utamanya pada masyarakat heterogen, di mana masing-masing memiliki norma sendiri - yang belum tentu baik bagi masyarakat lain. Akan tetapi, jika budaya ini tidak terkelola dengan tepat oleh otoritas dan masyarakatnya, output-nya justru toleransi pada perilaku menyimpang dari norma universal. Menanglah pelanggar etika.
Artikel Lainnya
-
112604/01/2020
-
4822/08/2024
-
48621/06/2024
-
Strategi Efektif Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam Mempromosikan Isu Lingkungan
8106/10/2024 -
Indonesia, Antara Mitos dan Kutukannya
143527/09/2019 -
Masihkah Mahasiswa Menjadi Barometer Kekuatan Masyarakat?
46101/10/2023