Budaya dan Identitas Nasional
Keragaman budaya di Indonesia sangatlah unik karena negara ini merupakan negara dengan kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Berdasarkan informasi dari Badan Informasi Geopasial (BIG), luas daratan Indonesia 1.922.570 kilometer persegi dan perairan 3.257.483 kilometer persegi. Bila ditotal, luas wilayah Indonesia adalah 5.180.053 kilometer persegi. Faktor tersebut yang membuat Indonesia disebut sebagai negara maritim dan agraris, tak heran bila negara-negara lain menjuluki Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa lantaran keindahan dan kekayaan yang sangat melimpah entah itu dari segi sumber daya, budaya, serta segi-segi lainnya.
Dari data Badan Informasi Geopasial (BIG) di atas dan runtutan sejarah indonesia sangatlah wajar apabila negara ini memiliki banyak keragaman budaya yang terlahir dari peradaban-peradaban masa lampau, kerajaan sendiri sudah terbentuk bahkan sebelum masehi. Jika sejarah Indonesia ditarik mundur sekitar abad ke-5 pada periode pra-kolonialisme, tepatnya masa-masa berdirinya kerajaan di wilayah Nusantara seperti Kerajaan Kutai dengan Hinduisme, Kerajaan Sriwijaya dengan Buddhisme, Kerajaan Mataram dengan Islamismenya. Sangatlah rasional apabila Indonesia memiliki beragam budaya dalam segala aspek.
Untuk sektor sandang budaya sangatlah fundamental karena itu adalah sebagian lambang dari identitas suatu etnis tertentu yang diwariskan oleh para leluhur lantaran di dalam sana terdapat unsur nilai-nilai yang mendalam. Misalnya seperti, Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin, Tenggarong, Kutai Kartanegara yang merupakan sebuah tempat beribadah bersejarah dan hingga kini masih berdiri kokoh menghiasi Kota Tenggarong.
Kebudayaan menjalar tidak hanya dalam sektor sandang saja tetapi juga terdapat dalam sektor pangan. Contoh, pada zaman pra-kolonialisme seperti Kerajaan Mataram di era Kesultanan ke-3 yaitu Sultan Agung Hanyakrakusuma beliau dikenal sebagai salah satu raja yang berhasil membawa kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan pada 1627, tepatnya setelah empat belas tahun Sultan Agung memimpin. Pencapaianya tidak berhenti sampai di situ, ia juga membangun sektor pertanian dengan memberikan tanah kepada petani dan membentuk forum komunikasi sebagai tempat pembinaan dan edukasi dalam bidang pertanian.
Nilai-nilai luhur tersebut masih diwariskan hingga era saat ini, seperti di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat terdapat sebuah desa bernama Ciptagelar. Desa adat yang masyarakatnya masih memegang erat tradisi leluhur sebagai orang Sunda. Berbagai kegiatan dilakukan sesuai kebiasaan nenek moyang salah satunya dalam hal pemberdayaan bidang pangan. Di sana kearifan pangannya mampu mempertahankan swasembada pangan untuk memasok 568 kampung, 30.000 jiwa. Terlebih lagi masyarakatnya sangat pantang menggunakan alat pertanian modern dan hanya memakai alat-alat tradisional yang diwarisi oleh nenek moyangnya.
Westernisasi Budaya
Kebudayaan perhari ini mengalami krisis sebab masyarakat terus digerus oleh budaya Barat yang merujuk pada budaya Eropa dan Amerika, di mana mayoritas populasi kini sudah mulai terbiasa dengan pola modernis dengan berkiblat pada sistem budaya barat (westernisasi) yang dianggap sebagai perubahan alternatif dari budaya.
Asal muasal masuknya budaya asing dimulai ketika Indonesia berada pada zaman perdagangan, secara letak geografis Indonesia sangat potensial sebagai jalur perdagangan sejak abad ke-5 yang saat itu dipergunakan oleh China dan India. Dari abad ke abad perdagangan di negara ini terus meningkat karena fluktuasi supply dan demand pasar. Puncaknya ketika Cornelis de Houtman datang pertama kali di Banten pada 27 Juni 1596 untuk mencari rempah-rempah dan berujung mendirikan VOC pada tahun 1602.
Penjajahan yang dilakukan oleh VOC pada kala itu menjadi pemicu awal peleburan budaya barat karena adanya interaksi sosial antara pribumi dan penjajah. Kolonialisme merupakan pemantik dari westernisasi itu sendiri dan terus mengalami transisi.
Pengaruh budaya ini memang tidak dapat dihindari di zaman yang semakin canggih ini, Sedangkan proteksi untuk menghadapi arus pengaruh budaya ini sangat lemah di masyarakat, sehingga merakapun mulai meninggalkan jati diri sebagai bangsa yang berbudi luhur, tanpa mengenal batas-batas ajaran moralitas budaya.
Westernisasi sendiri sangat terasa di kalangan milenial, berdampak kepada degradasinya nilai leluhur yang didukung oleh era 5.0. Dengan adanya teknologi manusia akan dipermudah dalam segala aspek dan bidang. Tetapi akan menjadi permasalahan ketika unsur barat bercampur dengan Indonesia, karena Indonesia suatu negara yang memiliki ciri khas tersendiri.
Polemiknya sangat terasa ketika mencampuri segi pangan di mana produsen dan konsumen kini bergeser, seperti di Kelurahan Wolohan Dua, Sulawesi Utara. Tingkat adopsi terhadap Inovasi alat pertanian modern padi sawah di kelurahan ini tergolong tinggi, sebab sektor ini memiliki peran penting dan menjadi tumpuan dalam kehidupan masyarakat karena negara ini adalah negara agraris. Faktor itu yang menyebabkan petani Wolohan mengalami transisi dari segi alat pertaniannya, dipicu oleh permintaan konsumen yang terus bertambah dan peminatan menjadi produsen kian berkurang.
Menurut Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Tomohon Barat Kelurahan Woloan Dua. Dengan jumlah mata pencarian sebagai petani di Kecamatan Tomohon Barat sebanyak 289, sebagian besar sudah menggunakan alat pertanian modern seperti traktor untuk mengolah lahan pertanian sawah dan mesin perontok untuk proses panen padi.
Transformasinya juga terasa di kebutuhan sandang, perhari ini para milenial sudah mulai melupakan pentingnya pakaian adat, memang tidak bisa dipungkiri pergeseran pakaian adat dalam masyarakat adalah sesuatu yang lumrah terjadi karena ada usaha untuk menyesuaikan dengan kebutuhan yang baru. Seperti yang terjadi pada Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie, Aceh. Di sana terjadi pergeseran pakaian adat perkawinan, terfokus pada baju yang digunakan pada saat pernikahan dan resepsi perkawinan.
Perubahan itu bersifat kepada bentuk modernisasi yang mana proses perubahan sosial budaya terlihat dari adanya keinginan masyarakat untuk mengenal dan mengikuti perkembangan zaman. Pakaian adat yang digunakan mengandung suatu nilai atau pesan-pesan yang ingin dicapai oleh si pengantin, baik yang masih digunakan maupun tidak digunakan lagi. Pakaian tradisional yaitu seperti pakaian Aceh, seloyor, sedangkan pakaian modern yang sudah dimodifikasikan adalah pakaian Aceh duyung, baju pengantin india, gaun barbie, kebaya gaun, dan kebaya gamis.
Peran Pemerintah dalam Asimilasi Budaya
Pemerintah dalam kasus ini harus mencoba memberikan tawaran lebih konkrit, bukan hanya serta-merta menerima kebudayaan asing dengan gamblang, tetapi memberikan edukasi pada masyarakat juga cukup penting untuk saling menjaga kebudayaan sendiri.
Di sisi yang lain, harus juga ada penekanan kepada setiap budaya asing yang akan masuk ke dalam kebudayaan Indonesia dengan cara penyaring atau filterisasi. Alat penyaringan pertamanya adalah Pancasila dan alat penyaringan kedua adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Pada kebijakan luar negeri juga pemerintah harus tegas dalam menyeleksi dan menjaga jangan sampai diakuisisi oleh negara-negara besar, karena bagaimanapun, kebudayaan dalam negeri sendiri memiliki sebuah nilai yang takkan bisa tergantikan oleh materil maupun non materil.
Kearifan-kearifan lokal harus tetap dijaga dan dipertahankan untuk diwariskan ke generasi selanjutnya, seperti yang tertera di dalam UU No.05/2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan dalam rangka melindungi, memanfaatkan, dan mengembangkan kebudayaan Indonesia. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Jika hanya masyarakat yang ditekan untuk menjaga kebudayaannya sendiri, maka sejatinya aturan ini cukup delusional karena pihak yang memasukan kebudayaan asing juga tidak ditekan untuk mengurangi asimilasi budaya.
Tugas pemerintah cukup berat, tidak hanya berlindung pada UU Pemajuan Kebudayaan bagi masyarakat secara nasional, pemerintah juga harus memastikan sektor swasta mau bahu-membahu untuk bersama melindungi, menekan dan juga bersinergi terhadap asimilasi ini, jika hanya sebatas sosialisasi pada masyarakat, ini akan mempertegas posisi pemerintah terhadap filterisasi berpihak kepada siapa.
Tantangan ini tidak hanya ada di swasta dan masyarakat, tetapi arahan kebijakan tetap ada di pemerintah.
Artikel Lainnya
-
121312/06/2021
-
143729/09/2019
-
37031/12/2023
-
Seragamisasi, Represi, dan Reduksi Esensi di Dunia Pendiidikan
81917/08/2022 -
Rindu Pemimpin Berjiwa Pahlawan
166430/10/2020 -
Pramoedya Ananta Toer; Mencecap Nestapa
20525/04/2024