Blokir Kekerasan di Sekolah dengan Kegiatan Ekstrakurikuler

Blokir Kekerasan di Sekolah dengan Kegiatan Ekstrakurikuler 19/02/2020 2547 view Pendidikan Pixabay.com

Dunia pendidikan Indonesia nyaris tak pernah luput dari realitas destruktif. Beragam kekerasan terus mencoreng, menggores, hingga melukai wajah pendidikan kita.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis hasil pengawasan dan pengaduan kekerasan di lembaga pendidikan. Terhitung sejak Januari hingga Oktober 2019, tercatat 127 kasus kekerasan yang terdiri dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. Data KPAI juga menunjukan bahwa sebagian besar pelaku kekerasan, mayoritas dilakukan oleh guru dan kepala sekolah (Tempo.co, 2/6/2019).

Setidaknya pada hemat saya, ada tiga kasus kekerasan dalam lembaga pendidikan yang sedang viral saat ini. Pertama, tiga siswa yang dengan bengisnya memukul dan menendangi seorang siswi di dalam ruangan kelas SMP Purworejo, Jawa Tengah. Kedua, Sultoni, guru Madrasah Tsanawiyah (MTs) Dagan Solokuro, Lamongan yang sudah menjadi tersangka setelah memukul siswanya dengan besi hingga pingsan (Detik.com, 21/1/2020). Ketiga, seorang guru di SMAN 12 Bekasi melakukan kekerasan fisik terhadap siswa yang terlambat (Detik.com, 12/2/2020).

Ketiga kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari jutaan kasus yang selalu merongrong dunia rahim pendidikan kita. Jikalau saya dan Anda sekalian adalah tipikal pribadi yang melek baca dan nonton TV, maka di sana kita akan menjumpai serta menikmati berbagai hidangan buruk seputar kekerasan dalam dunia pendidikan itu sendiri.

Pada titik ini kita tak bisa menyangkal bahwa dunia pendidikan kita sedang gawat darurat. Rupanya pergantian kurikulum, Mendikbud yang terus terjadi di Negeri tercinta ini tak cukup memiliki daya untuk mengubah wajah pendidikan kita untuk semakin baik dan berkualitas.

Selain itu, terbitnya Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan juga tak benar-benar mampu membuat dunia pendidikan Indonesia jauh dari virus kekerasan. Malah sebaliknya, dianggap sebagai hal yang lumrah dan makin marak terjadi.

Berhadapan dengan situasi sulit ini, bisa jadi akan membuat kita semua serba dilematis. Sebaliknya, malah bisa membuat setiap insan tergugah untuk berpikir dan bergerak lebih.

Misalnya, di satu pihak, kita terjebak dalam pemikiran negatif yang berimbas pada ketidakpercayaan pada lembaga pendidikan itu sendiri. Namun, di pihak lain kita juga tak bisa dengan mudahnya terjebak pada pemikiran sempit dan mematikan itu.

Mengapa Harus Ekstrakurikuler?

Kita menyadari bahwa setiap manusia itu unik dan sejak dalam rahim ibu Tuhan sudah menghadiakan minat dan bakatnya masing-masing. Untuk itu, bakat dan minat identik dengan akar dan daya pemantik bagi seseorang untuk berekspresi, berkreasi dan memampukan seseorang untuk mengenal dirinya secara baik. Bisa dibilang bakat dan minat itu adalah sesuatu yang suci dan dapat memberi berkat bagi diri, sesama, dan lingkungan.

Salah satu wadah humanis yang diyakini dapat mengembangkan bakat dan minat anak secara sistematis dan bertanggung jawab adalah lembaga pendidikan. Untuk dapat menyalurkannya, maka lembaga pendidikan harus sebanyak mungkin menyiapkan pilihan melalui beragam kegiatan ekstrakurikuler. Semakin banyak, malah akan semakin bagus.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan tidak lagi dipahami hanya sebatas tempat mencerdaskan otak anak, namun lebih daripada itu harus mampu mengarahkan anak menemukan jati diri yang sesungguhnya.

Pada titik ini, setiap minat dan bakat yang ada dalam diri anak sangat berperan penting, bahkan memiliki daya dalam pengembangan kepribadian anak itu sendiri. Selain itu, dapat menuntun setiap peserta didik untuk mengalami proses pencapaian prsetasi akademik, afektif dan juga spritual.

Darinya, para peserta didik yang masih dalam proses pencarian jati dirinya itu dapat secara perlahan-lahan mengetahui siapakah dirinya dan kemana harus berlangkah. Hal ini sejalan dengan Peraturan Kementerian pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 62 tahun 2014 yang salah satu pointnya berbunyi: bahwa kegiatan ekstrakurikuler dapat memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik melalui pengembangan bakat, minat, dan kreativitas serta kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain.

Dengan begitu, selain pengembangan ekstrakurikuler wajib yakni kegiatan pramuka, sekolah juga tidak boleh berpangku tangan untuk tidak menerapkan lagi kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. Karenannya, setiap kegiatan ekstra harus dibimbing oleh guru yang memiliki kemampuan dan kemauan tulus untuk rela berkorban. Sehingga pengembangan bakat anak tidak asal jadi tetapi harus betul-betul mampu menyentuh hati terdalam anak untuk bisa tumbuh-kembang menjadi pribadi yang berkarakter.

Oleh sebab itu, sekolah harus berusaha sebisa mungkin melalui para pendidik untuk mampu memegang hati peserta didik, biar mereka kecanduan dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diminati itu hingga menyelesaikan pendidikan akhirnya, baik di bangku SMP maupun SMA.

Alhasil, ketika peserta didik sudah kecanduan oleh bakat dan minatnya itu, pastilah akan timbul rasa nyaman, diharagai dan dicintai oleh guru-gurunya. Nah, pada situasi seperti ini, sudah pasti waktu atau peluang untuk melakukan hal-hal yang negatif akan terkikis dan bahkan bisa lenyap.

Keberadaan kegiatan eksrakurikuler sebagai saluran pengembangan bakat dan minat siswa pun semakin mendapatkan tempat secara layak dalam sebuah lembaga pendidikan. Betapa kegiatan ekstrakurikuler akhirnya mulai merasuki otak, hati, dan bahkan mental anak secara perlahan-lahan untuk menjadi kuat dalam menangkal hal-hal negatif yang menyerang hidupnya.

Melalui kegiatan ekstrakurikuler juga, guru dituntut memaknai hidup dan panggilanya secara lebih. Maksudnya, segala hidupnya harus diisi dengan semangat kreatifitas reflektif. Sebab bakat anak akan menjadi luar biasa hanya bisa terjadi jika dibimbing oleh guru yang luar biasa. Pada saat yang sama juga otak, hati dan seluruh kehidupan guru dan murid akan banyak dihabiskan dengan melakukan hal-hal edukatif.

Akhirnya, saya dan Anda sekalian harus bersepakat dan meyakini bahwa semakin banyak kegiatan ekstra di sekolah akan semakin baik untuk menjadi jembatan emas bagi guru dan murid untuk saling belajar yang berujung pada keakraban yang humanis. Dan pada akhirnya orientasi luhur keberadaan lembaga pendidikan yang sesungguhnya mendapatkan tempatnya.

Sebaliknya, virus-virus kekerasan yang seringkali merusak rahim pendidikan perlahan-lahan dilenyapkan. Setidaknya, buah manis sebagai hasil dari penerapan kegiatan ekstrakurikuler ini sudah terbukti sangat mujarab dan dialami dalam lembaga pendidikan tempat saya mengabdi.

Pada saatnya pun, harapan akan semakin banyak memanen para generasi yang unggul dalam segala aspek hidup untuk membangun bangsa dan negara menjadi lebih baik akan pelan-pelan menuaikan hasilnya. Dan pada akhirnya kita percaya bahwa para generasi kini akan menjadi calon pendidik masa depan yang handal dan berkarakter.

Untuk itu, kita semua berharap bahwa dalam ikhtiar memblokir perilaku-perilaku menyimpang serta virus dan kelicikan sikap destruktif lainnya yang menyerang rahim pendidikan tak lagi hanya berharap pada pihak keamanan dan juga tak lagi puas pada hukuman berat. Namun membutuhkan semangat refleksi terkhusus bagi murid dan guru. Juga kesadaran kolektif humanis dari semua eleman masyarakat.

Namun, terlepas dari berbagai kekurangan yang seringkali terjadi dalam lingkup pendidikan, kita semua tetap harus percaya dan meyakini bahwa sekolah tetaplah menjadi agen perubahan yang mampu mengubah murid dan guru yang biasa menjadi luar biasa. Dan menjadikan murid dan guru berkarakter. Itu berarti sekolah tidaklah identik dengan kekerasan. Sebab guru dan murid adalah bintang yang mampu menggapai juara dengan caranya masing-masing. Dan cara itu hanya didapatkan melalui rahim pendidikan itu sendiri.

Akhirnya, kita semua berharap sembari terus berdoa agar rahim pendidikan kita selalu mampu melahirkan para guru dan peserta didik berkarakter. Yang bisa menjadi andalan saat kehancuran nilai dalam masyarakat terjadi, dan bukan sebaliknya menjadi aktor yang turut menghancurkan nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat dan dunia pendidikan itu sendiri.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya