Bisikan Alam Bagi Masyarakat Indonesia

Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang
Bisikan Alam Bagi Masyarakat Indonesia 25/01/2021 1258 view Opini Mingguan wikipedia.org

Fenomena alam yang terjadi di negeri pertiwi kini telah menjadi suatu habit atau kebiasaan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini tampak nyata dari tahun ke tahun bahwa bencana yang terjadi ini seakan tidak dapat terelakkan lagi. Bencana seakan menjadi kronologi yang telah menjadi sahabat masyarakat yang berbhineka ini.

Ada beragam bencana yang terjadi di negeri ini yang kerapkali dipandang sebagai akibat dari perilaku manusia yang salah atau bahkan Tuhan menjadi sasaran utama sebagai akibat dari bencana yang terjadi.

Realitas yang tidak dapat dipungkiri yakni bencana besar yang hingga saat ini masih merajalela dan memakan banyak korban adalah Pandemi covid-19 yang belum usai. Selain itu kecelakaan pesawat Sri Wijaya Air 182 dengan rute Jakarta-Pontianak yang menelan korban 62 orang. Disamping itu juga terjadi tanah longsor, gempa bumi di Sulawesi barat yang memakan korban 84 orang, gunung meletus. Bahkan banjir yang menjadi fenomenal dan membutuhkan perhatian publik saat ini yakni di Kalimantan Selatan. Dan, tidak dapat dipungkiri bahwa semua bencana alam tersebut telah memakan banyak korban dan kerugian dari berbagai bidang kehidupan. Aspek sosial, ekonomi, kemanusiaan, dan sebagainya.

Menyadari realitas yang terjadi ini aspek kemanusiaan dan perhatian pada alam sangat diperlukan. Berbagai tanggapan turut berduka cita atas bencana yang terjadi ini juga disampaikan oleh berbagai negara asing. Dalam hal ini Paus Fransiskus sebagai Pemimpin tertinggi umat Katolik di dunia bahkan menyampaikan dukacita dan doanya bagi Indonesia. Pertama akibat kecelakaan SJ 182 dan kedua bencana di Sulawesi. Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia sendiri?

Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan budaya gotong royongnya menjadi suatu gerakan yang perlu ditingkatkan kembali. Bagaimanakah sikap kemanusiaan mayarakat Indonesia sebaiknya dilakukan menangggapi realitas ini? Siapakah yang harus bekerja dan menyelesaikan problematika ini? Mengapa bencana ini dapat terjadi? Begitu banyak pertanyaan yang terbesit dalam benak masyarakat Indonesia saat ini. Melalui tulisan ini saya kemudian ingin mempersuasi para pembaca dalam membangun sikap kemanusiaan dalam menanggapi berbagai bencana di negeri ini.

BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat sebanyak 136 bencana terjadi di Indonesia. Dan, mayoritas bencana yang terjadi tersebut adalah dikarenakan faktor kondisi alam. Dimana selain menelan banyak korban bencana tersebut juga banyak merusak ribuan bangunan. Akibatnya ribuan orang juga mengungsi di berbagai tempat yang notabene menimbulkan kerumunan justru akan menimbulkan masalah baru yakni penyebaran covid-19.

Berdasarkan data BNPB banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan sebagai akibat dari intensitas hujan yang mengguyur pada Minggu 13 Januari 2021. Terdapat 21.990 jiwa yang terdampak bencana banjir di kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Selain di tanah laut, banjir juga menerjang kabupaten Balangan dengan total sebanyak 3.571 rumah yang terendam banjir. Selain itu juga terjadi di berbagai lokasi hingga beberapa pedesaan di Kalsel. (Liputan6.com).

Berbagai tanggapan telah dilakukan oleh pemerintah dan seluruh masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan ini. Presiden Jokowi sebagai pemimpin bumi pertiwi ini terlibat aktif bukan hanya melalui perintah dan kata-kata melainkan juga dengan gerakan nyata melalui terjun langsung untuk melihat kejadian demi kejadiian. Dalam hal ini pemerintah telah melakukan sikapnya yang bukan hanya sebagai pemimpin tetapi juga pelayan. Sebab pemimpin sesungguhnya adalah pelayan yang melayani setiap orang yang dipimpinnya.

Selain Presiden berbagai organisasi masyarakat juga melakukan gerakan bersama dalam menunjukan sikap peduli kasih atas sesama manusia. Melakukan berbagai bantuan berupa donasi uang, pakaian, makanan dan berbagai finansial lainnya. Kegiatan peduli kasih ini menjadi simbol kegotongroyongan masyarakat Indonesia yang sudah membudaya.

Meskipun berbagai usaha telah dilakukan oleh seluruh lembaga, organisasi dan masyarakat Indonesia saat ini, tidaklah cukup untuk menutup kemungkinan bahwa yang perlu di sadari alam adalah identitas dari diriku.

Sikap peduli, gotong royong dan kemanusiaan Indonesia akan menyelesaikan bencana alam bukan dari aspek kemanusiaannya melainkan kesadaran akan suatu relasi antara aku dan alam. Hal ini berarti pribadi alam adalah pribadiku. Jikalau alam rusak maka akupun akan rusak. Jikalau alam sehat dan baik maka akupun baik dan sehat. Maka dalam hal ini manusia seharusnya menyadari realitas kehidupan bahwa alam dan manusia hidup dalam kesatuan dan berdampingan. Dalam hal ini Armada Riyanto dalam bukunya ”menjadi mencintai” mengatakan “Kini kerusakan alam berada dalam ranah yang sangat mengkhawatirkan. Alam lantas memiliki perspektif kedirian yang harus didengarkan. Alam memiliki nilai, suara, bisikan, dan kearifan yang harus digali dan disimak. Alam adalah juga metafora kehidupan manusia itu sendiri.”

Budaya membuang sampah sembarangan turut menjadi faktor yang mendasar untuk diperhatikan. Kebiasaan membuang sampah sembarangan menyebabkan berbagai masalah lingkungan dan bencana alam. Banjir, tanah longsor, sungai meluap, polusi udara, dan pencemaran air.

Sungai-sungai yang biasa dipakai oleh penduduk di sepanjang tepi sungai karena mengalami pencemaran menyebabkan berbagai ganngguan kesehatan masyarakat. Manusia kurang menyadari bahwa kebiasaan membuang sampah sekecil apapun akan menyebabkan masalah yang sangat sulit diatasi. Peribahasa mengatakan sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Semakin sering budaya membuang sampah sembarangan semakin banyak penumpukan penderitaan dan kesengsaraan. Realitas inilah yang kemudian harus diterima dengan adanya banjir dan bencana alam lainnya saat ini.

Relasi akan alam dan manusia perlu diperhatikan. Armada Riyanto kiranya memberikan pencerahan akan makna Empati relasionalitas.“Dimanakah letak relasionalitas? Di sini, dalam kenyataan bahwa empati adalah bagian dari kodrat kebersamaannya dengan yang lain, empati tidak pernah kebetulan. Empati lahir dari sebuah kedalaman relasi. Relasionalitas empati berada pada struktur cetusan kebersamaan dengan sesamanya. Apabila aku bersaam dengan yang lain, aku memiliki respon kehadirannya; dan dengan demikian dia juga memiliki respon atas kehadiranku. Konteks respon satu sama lain ini memiliki fondasi relasionalitas humanis” Peryataan ini kiranya menjadi acuan kita bersama bahwa dengan kembali memiliki rasa peka, empati, simpati dan peduli dengan alam akan menimbulkan kesejahteraan, perdamain, bahkan lebih dari itu semua bencana alam dapat dihindari dan dicegah asalkan ada persahabatan antara manusia dan alam.

Lalu bagaimana menyadari realitas yang terjadi pada alam ini? Manusia bahkan hanya berpikir dirinyalah pemilik dan penguasa alam itu sehingga berhak menggunakannya secara semaunya.

Pada tahun 1971, dalam ensikliknya tentang Pacem in Terris, Paus Paulus VI berbicara tentang masalah ekologi sebagai “akibat tragis” dari aktivitas manusia yang tak terkendali: “Karena eksploitasi alam yang sembarangan, manusia mengambil risiko merusak alam dan pada gilirannya menjadi korban degradasi ini. Bencana ekologis sebagai akibat peradaban industri”, dan menekankan “kebutuhan mendesak akan perubahan radikal dalam perilaku umat manusia”, karena “kemajuan ilmiah yang sangat luar biasa, kemampuan teknis yang sangat menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang sangat mencengangkan, bila tidak disertai dengan perkembangan sosial dan moral otentik, akhirnya akan berbalik melawan manusia.”

Kerusakan alam berada dalam lingkaran kehidupan yang sangat mengkhawatirkan. Alam tengah mengalami krisis. Alam lantas memiliki nilai, suara, bisikan, dan kearifan yang harus digali dan disimak. Krisis yang terjadi pada alam merupakan pengalaman pahit bagi manusia. Manusia perlu belajar dari pengalaman ini. Dan, yang paling penting manusia perlu menyadari eksistensinya bersama alam. Tujuan itu untuk mencapai kebahagiaan, keadilan, kenyamanan, cinta, kebaikan, kebijaksanaan, pengharapan dan keharmonisan hidupnya dengan alam.

Akhirnya dengan memiliki rasa kesatuan antara alam dan identitasnya, empati relasionalitas dan kesejatian cintanya. Manusia akan mampu memaknai hidup dan kesatuannya dengan alam sebagai harmonisasi dari kehidupan. Ada keseimbangan kehidupan antara alam dan manusia. Dan, tujuan dari kehidupan yaitu alam adalah identitasku. Ketika alam rusak, maka identitasku rusak. Ketika alam baik, maka identitasku pun baik. Kebebasan bukan untuk mengambil dan mengeruk semua yang ada pada alam dengan keegoisan dirinya. Tetapi, kebebasan untuk memperlakukan alam seturut keberadaannya.

Dengan menyadari itu semua manusia diajak untuk melestarikan alam dengan penuh tanggung jawab. Manusia akan menunjukan jati diri dan identitas yang baik jika manusia mampu melestarikan alam. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan yang harmonis antara alam dan manusia.

Salam Sehat Indonesiaku

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya