Beri Aku Satu Reynhard Sinaga, Niscaya Kuguncang Dunia
Tak perlu sepuluh pemuda, seperti yang diminta Bung Karno, untuk mengguncang dunia. Reynhard Sinaga berhasil beri bukti bahwa dirinya seorang sudah cukup untuk menggegerkan alam raya.
Beberapa hari ini seisi Bumi memang digemparkan dengan berita perkosaan yang dilakukan Reynhard terhadap 190 korbannya di Manchester (hanya 48 orang yang baru terbukti). Seolah tidak cukup mengagetkan dengan jumlah korban yang sedemikian melimpah, Reynhard benar-benar membuat dunia terperangah karena semua korban ternyata adalah pria.
Sebagai pribadi yang dikenal cerdas, ramah, supel, kaya lagi terhormat, tidak ada yang menduga kalau mahasiswa program doktoral itu memiliki sisi kelam. Biar bagaimanapun, kehidupan Reynhard terlalu sempurna untuk disentuh kriminalitas yang sedemikian hina.
Akan tetapi, apa-apa yang tampak indah di luar rupanya bukan jaminan kemolekan di dalam. Di balik wajah kalem bersulam senyum milik Reynhard, rupanya tersembunyi predator seks yang buas nan ganas.
Daily Mail menyebutnya sebagai Britain’s Worst Rapist Ever. Wikipedia menempatkannya di urutan kedua dunia, hanya kalah dari Joji Obara yang diyakini telah memerkosa 150 – 400 wanita. Ups, kalau korbannya pria, berarti Reynhard menjadi juara pertama.
Kejadian menggemparkan di awal tahun ini memantik diskusi terkait gangguan mental. Aksi Reynhard diyakini memberi bahan riset panjang bagi para akademisi psikologi dan bidang ilmu terkait. Salah satu tema diskusi yang menarik adalah tentang target sasaran pelaku homoseksual.
Reynhard yang diketahui sebagai seorang gay rupanya selalu mencari korbannya yang heteroseksual. Dikutip dari BBC, dari 48 korban yang kasusnya telah disidangkan, 45 diantaranya adalah heteroseksual. Dan Reynhard bangga akan hal tersebut dengan mengambil barang milik korban sebagai ‘trofi’ kemenangannya.
Berangkat dari kasus ini, diketahui pula bahwa upaya kelompok homoseksual mencari orang yang ‘lurus’ sebagai korbannya bukan urban legend semata. Percakapan Reynhard dengan teman-temannya sesama gay di grup WhatsApp mengungkap hal itu. Simak transkrip antara Reynhard (RS) dan temannya (T) yang dikutip dari grid.id berikut ini:
T : Kamu bisa dapat banyak cowok straight (normal), sayang
RS : Hahaha
RS : Maksudmu seperti yang ini? (sambil mengirim foto korban yang tak sadarkan diri setelah diperkosanya)
T : Hahahahaha. Selalu ada yang baru
RS : Dia ini lugu, khas cowok brondong. Dia punya aksen selatan yang macho
T : Kamu selalu dapat yang berbeda setiap minggunya
RS : Ilmu hitam, Manchester adalah kota sihir.
RS : Kota romansa para gay. Kotanya para gay bercinta
T : Ilmu hitam! Rey membuat ramuan minuman sihir percintaan gay haha.
T : Aku tahu. Aku menginginkan formula itu
RS : Teguk ramuan rahasiaku. Aku akan membuatmu jatuh cinta
T : Aku ingin sekali memberikannya pada cowok yang kutemui pekan lalu. Ahahahah
RS : Satu tetes sudah cukup.
Percakapan tersebut mengandung kesan iri yang sangat benderang dari temannya kepada Reynhard yang bisa mendapatkan pria lurus setiap pekan. Seolah-olah bagi mereka mendapatkan orang yang lurus adalah prestasi yang membanggakan. Ada kepuasan yang harus dirayakan.
Di saat yang sama, kasus Reynhard juga mengubah peta kelompok korban predator seks. Selama ini kasus serial rapist selalu menyasar dua kelompok, kalau tidak anak-anak ya perempuan.
Mereka menjadi sasaran empuk predator seks karena dianggap lebih mudah diperdaya. Maka tidak heran bahasan riset psikologi didominasi dua kelompok rentan tersebut, baik terkait dampak, penanganan (trauma healing), maupun upaya pencegahannya.
Akan tetapi, kasus perkosaan oleh Reynhard membuka mata kita bahwa zaman sekarang laki-laki sama rentannya dengan anak-anak dan perempuan. Yang membedakan, anak-anak dan perempuan disasar paraphilia yang diklasifikasikan sebagai gangguan mental. Adapun laki-laki disasar oleh gay yang dianggap bukan masalah kejiwaan lagi oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).
DSM sendiri merupakan produk American Psychiatric Association (APA) yang selalu direvisi berdasarkan bukti riset terkini. Versi terakhir dari buku pedoman tersebut adalah DSM-5 yang terbit tahun 2013. Buku pedoman ini menjadi rujukan utama bagi para psikolog dan psikiater di seluruh penjuru dunia.
Satu hal menarik yang perlu dicatat atas fenomena hilangnya homoseksual dari DSM adalah tentang musababnya. Kalau ditelusuri sejarahnya, rupanya homoseksual lenyap dari DSM bukan murni berdasarkan riset saintifik, melainkan atas desakan aktivis gay yang telah menggelorakan gerakan anti psikiatri sejak tahun 1960.
Pada periode tersebut suhu Amerika memang sedang memanas dengan berbagai demonstrasi. Dimulai dari gerakan persamaan hak warga kulit hitam Amerika tahun 1950-an, lalu merembet ke gerakan feminisme dan homoseksual.
Pada tahun 1971, ketika APA sedang khusyuk menggelar konferensinya, seorang aktivis gay bernama Frank Kameny merebut mikrofon dan berujar dengan lantang: psikiatri tidak lain adalah musuh yang menjelma. Kalian telah menggelorakan pemusnahan kepada kami tanpa henti. Anggap saja kejadian ini adalah deklarasi perang terhadap kalian!
Tentu mudah bagi kita membayangkan bagaimana reaksi peserta atas gertakan aktivis gay tersebut. Nyatanya gerakan tersebut memang ampuh mengamputasi APA. Maka sejak tahun 1973 kita tidak lagi melihat homoseksual sebagai gangguan mental dalam DSM. Bangsa yang kerap mendewakan riset saintifik rupanya tunduk dengan desakan politik.
Beruntung DSM bukan kitab suci yang harus diimani seluruh psikolog dan psikiater seluruh dunia. Indonesia misalnya, punya manual sendiri yang berjudul Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Dalam manual tersebut homoseksual (masih) digolongkan sebagai masalah kejiwaan.
Akan tetapi, bukan Amerika namanya kalau tidak mencampuri urusan orang lain. Pun demikian dengan APA. Mereka dengan agresifitasnya selalu mempropagandakan normalitas homoseks ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Secara resmi, melalui surat yang dilayangkan kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), APA meminta Indonesia untuk mencabut keputusan pengklasifikasian homoseksual sebagai gangguan mental.
Dalam surat yang bertanggal 8 Maret 2016 itu, seilmiah mungkin mereka paparkan bukti riset terkini. Bahwa orientasi seksual bukanlah pilihan dan tidak bisa diubah, katanya. Bahwa homoseks adalah perkara genetik dan hormonal, katanya. Dan bahwa ada perbedaan struktur otak antara homoseks dan heteroseks, katanya.
Surat itu cukup dibalas oleh PDSKJI dengan mengatakan bahwa ada perbedaan cara pandang antara psikiater Indonesia dan Amerika dalam memandang homoseksualitas.
Sekarang kita masih bisa bernafas lega karena mayoritas psikiater dan psikolog di tanah air masih menganggap homoseks sebagai gangguan mental. Artinya ada itikad kuat dari mereka untuk membantu orang dengan homoseksual agar bisa menjadi normal.
Tetapi sebagaimana aktivis gay di Amerika tak lelah mendesak APA untuk merevisi DSM, maka bukan tidak mungkin desakan yang serupa juga terjadi di Indonesia.
Hal ini sangat berbahaya mengingat psikolog dan psikiater adalah dua otoritas yang pendapatnya menjadi acuan di masyarakat. Kalau mereka yang notabene ahli sudah melegalkan homoseks, maka gelombang deras LGBT di Indonesia akan sangat sulit terbendung.
Terakhir, tulisan ini bukan propaganda untuk membenci pelaku LGBT. Biar bagaimanapun mereka adalah manusia yang dijamin haknya. Alih-alih membenci pelaku, kita upayakan penanganan terbaik agar perilaku yang demikian tidak menggejala di tengah masyarakat.
Jika ada upaya sistemik ‘menghomokan’ individu heteroseksual, maka perlu disusun pula upaya terbaik untuk mencegahnya. Dengan begitu kita berharap supaya kasus Reynhard tidak terulang di masa mendatang.
Artikel Lainnya
-
123004/08/2020
-
140820/11/2020
-
119628/05/2020
-
119521/09/2022
-
Menggugat Hipotesa Kubu Kontra Pabrik Semen Di Matim-NTT: Sumber Air Bisa Berkurang/Mati
162223/06/2020 -
Menghidupkan Literasi Digital pada Anak Selama Masa Pandemi
124919/07/2021