Belajar Mendemokrasikan Indonesia

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM di Lembaga Pusat Riset dan Kajian HAM
Belajar Mendemokrasikan Indonesia 29/08/2024 134 view Hukum Civic Education

Demokrasi di Indonesia adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan dan dinamika. Setidaknya, dalam tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk memahami proses, tantangan, dan upaya yang diperlukan untuk mengembangkan dan memperkuat demokrasi di negeri ini. Dalam konteks ini, penting juga untuk menyoroti hambatan struktural dan budaya yang menghambat proses demokratisasi.

Perjalanan demokrasi di Indonesia dimulai sejak kemerdekaan pada tahun 1945. Namun, demokrasi yang diharapkan sering kali mengalami pasang surut. Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menandai periode otoritarianisme yang panjang, di mana kebebasan politik sangat dibatasi. Reformasi 1998 menjadi titik balik penting ketika rakyat Indonesia berhasil menumbangkan rezim otoriter dan membuka jalan bagi demokrasi yang lebih inklusif.

Namun, demokrasi tidak bisa tumbuh dalam semalam. Butuh proses yang panjang dan berkelanjutan untuk membangun institusi demokratis yang kuat. Proses ini melibatkan pembentukan undang-undang yang mendukung kebebasan politik, transparansi, dan akuntabilitas. Pemilu yang bebas dan adil, kebebasan pers, serta partisipasi masyarakat sipil merupakan elemen penting dalam proses ini.

Meskipun telah banyak kemajuan, demokrasi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah korupsi yang merajalela. Transparency International melaporkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat yang mengkhawatirkan dalam Indeks Persepsi Korupsi. Korupsi melemahkan institusi demokratis dan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Selain itu, politik uang masih menjadi masalah serius dalam pemilu. Praktik ini merusak integritas proses demokrasi dan menghalangi partisipasi politik yang adil. Pemilih sering kali dijanjikan uang atau barang sebagai imbalan untuk memilih kandidat tertentu. Hal ini tidak hanya mengurangi kualitas demokrasi, tetapi juga mempengaruhi hasil pemilu secara negatif.

Hambatan struktural dan budaya juga memainkan peran penting dalam menghambat proses demokratisasi. Salah satu hambatan struktural adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan yang tinggi antara kaya dan miskin menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi. Ketika sebagian besar masyarakat berada dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, partisipasi politik mereka cenderung rendah.

Selain itu, budaya patronase dan nepotisme masih kuat di Indonesia. Banyak jabatan politik dan birokrasi yang diberikan berdasarkan hubungan keluarga atau kedekatan pribadi, bukan berdasarkan kompetensi. Hal ini mengakibatkan pemerintahan yang tidak efisien dan kurang akuntabel.

Menurut Samuel Huntington dalam bukunya "Political Order in Changing Societies," negara yang sedang berkembang sering kali mengalami ketegangan antara modernisasi ekonomi dan politik tradisional. Huntington berargumen bahwa proses modernisasi sering kali diiringi oleh konflik antara nilai-nilai tradisional dan kebutuhan untuk membangun institusi modern yang lebih efisien dan demokratis.

Untuk mengatasi tantangan dan hambatan tersebut, diperlukan berbagai upaya konkret. Pertama, perlu adanya reformasi sistem pemilu untuk memastikan transparansi dan keadilan. Pengawasan yang ketat dan penegakan hukum terhadap praktik politik uang harus diperkuat. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik.

Kedua, pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama. Ini membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Penguatan lembaga antikorupsi seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sangat penting dalam hal ini. Menurut Robert Klitgaard dalam bukunya "Controlling Corruption," korupsi dapat diminimalkan melalui kombinasi strategi preventif, detektif, dan penegakan hukum yang tegas.

Ketiga, untuk mengatasi hambatan struktural, pemerintah harus fokus pada pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan ekonomi. Program-program sosial yang inklusif dan berkelanjutan harus diimplementasikan untuk memberikan akses yang lebih adil terhadap layanan dasar. Selain itu, pemberdayaan ekonomi bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan akan membantu meningkatkan partisipasi politik mereka.

Keempat, budaya patronase dan nepotisme harus diperangi dengan meningkatkan transparansi dan meritokrasi dalam penunjukan pejabat publik. Reformasi birokrasi yang komprehensif diperlukan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efisien dan akuntabel.

Belajar mendemokrasikan Indonesia adalah proses yang kompleks dan berkelanjutan. Demokrasi bukan hanya tentang pemilu, tetapi juga tentang membangun institusi yang kuat, memberantas korupsi, mengatasi ketimpangan, dan mempromosikan partisipasi politik yang adil. Hambatan struktural dan budaya harus diatasi dengan upaya yang terpadu dan komitmen yang kuat dari semua pihak. Hanya dengan demikian kita dapat mewujudkan demokrasi yang sejati dan berkelanjutan di Indonesia.

Sebagaimana dikatakan oleh Amartya Sen dalam bukunya "Development as Freedom," demokrasi bukan hanya sebuah tujuan akhir, tetapi juga sarana untuk mencapai kebebasan dan keadilan bagi semua. "Demokrasi adalah kesempatan untuk hidup dengan martabat dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat," tulis Sen.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya