Bangun Pagi Tanpa Gawai

Pendidik
Bangun Pagi Tanpa Gawai 29/05/2021 971 view Pendidikan Halosehat.com

Harus saya akui, selama pandemi ini, intensitas interaksi saya dengan gawai semakin meningkat. Pagi, siang dan malam tidak pernah sekalipun saya alpa bermain gawai. Saat bangun pagi, pertama yang saya lakukan adalah pasti mencari gawai. Kemudian setelah selesaikan melafalkan doa pagi maka aktivitas berikutnya pun pasti tentang gawai.

Di tempat kerja pun demikian. Memperbaharui status, meng-upload foto, membalas pesan dan lainnya dapat saya lakukan di sela-sela kesibukan pekerjaan. Bahkan, semakin ke sini, aktivitas yang berkaitan langsung dengan kerja pun memaksa saya untuk harus terus menggunakan gawai. Rapat melalui beragam aplikasi daring, belajar daring dan beragam jenis pekerjaan lainnya bahkan sudah harus dilangsungkan dengan perantara gawai. Bekerja dan sambil bermain gawai rasanya juga sudah normal-normal saja.

Malah sebaliknya, ketika tidak ada gawai atau lupa membawa gawai maka waktu dirasakan bergerak sangat-sangat pelan. Perasaan gelisah dan kurang fokus malah menjadi seperti teman ketika tanpa gawai. Mungkin, aktivitas tidur dan mandi saya yang luput dari gawai. Selebihnya, saya dan gawai adalah ibarat dua sisi uang logam. Rasanya separuh jiwa saya sudah terikat pada aplikasi gawai. Gawai sudah secara sistematis dan sporadis merasuki pikiran dan segala bentuk aktivitas saya. Saya kecanduan bermain gawai.

Candu Gawai Pada Anak

Fenomena kecanduan gawai seperti narasi saya di atas bukan lagi rahasia umum. Sebab baik orang tua, orang dewasa dan tentunya anak-anak sudah hampir semuanya mengenal dan memiliki gawai. Anak bahkan menjadi salah satu kelompok yang paling riskan ikut terjebak dalam candu gawai. Mereka bahkan berada pada tingkatan yang lebih ekstrem. Hal ini setidaknya terkonfirmasi dari penelitian yang dilakukan oleh National Institutes of Health (NIH) Albany dan New York University Langone Medical Center, Amerika Serikat. Penelitian ini menunjukan fakta bahwa kecanduan anak-anak terhadap perangkat digital seperti gawai mengalami peningkatan yang sudah cukup signifikan.

Secara teori, menurut rekomendasi dari Lembaga American Academy of Pediatrics, seharusnya anak di bawah 18 bulan harus dihindarkan dari paparan gawai. Untuk anak umur 18-24 bulan harus diperkenalkan secara bertahap. Untuk anak-anak usia 2-5 tahun penggunaannya cukup hanya 1 jam per-hari. Sedangkan untuk usia 6 tahun ke atas penggunaan gawai tidak boleh mengganggu waktu tidur dan aktivitas fisik. Rekomendasi waktu penggunaan gawai pada anak tersebut nyatanya tidak relevan dengan fakta yang ada sekarang baik itu pada anak-anak di negara luar maupun anak-anak Indonesia.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) dengan subyek penelitiannya adalah ibu dari 4.000 anak di New York menunjukan bahwa sejak usia 12 bulan waktu yang dihabiskan anak-anak menghadap layar digital adalah 53 menit lalu bertambah menjadi 150 menit pada usia 3 tahun. Adapun yang tertinggi adalah pada usia 8 tahun. Sedangkan di indonesia, menurut survey KPAI, terdapat 34,8 persen anak menggunakan gawai 2-5 jam per hari dan 25,4 persen menghabiskan gawai bahkan lebih dari 5 jam per hari di luar waktu belajar. Data-data ini mencerminkan bahwa lebih dari sebagian (60,2 persen) anak-anak Indonesia juga sudah mengalami kecanduan pada gawai. Waktu bermain gawai anak-anak Indonesia sudah di luar dari rekomendasi yang dianjurkan.

Penggunaan gawai yang melebihi batas rekomendasi akan memberikan efek buruk pada seorang anak. Kondisi dan situasi seperti obesitas, insomnia, sakit mata, imajinasi rendah, tidak sabaran, sulit konsentrasi, sulit bergaul bahkan kurang empati menjadi efek buruk yang kemungkinan akan dirasakan anak. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan muncul efek buruk lain yang bukan saja terkait faktor kesehatan tetapi lebih dari itu. Rusaknya masa depan anak. Kasus yang menjerat AFS (15), warga Kabupaten Sidoarjo yang terjadi baru-baru ini setidaknya bisa menjadi bahan refleksi. Bocah yang masih berusia SMP ini menjadi viral dan harus berurusan dengan hukum lantaran aksinya yang di luar nalar dan perilaku normal dari anak seusianya. AFS nekat membakar rumah tetangganya setelah berupaya mencuri uang hanya untuk keperluan remeh temeh bermain game on-line.

Apa yang dilakukan AFS tersebut mencerminkan bahwa efek domino sebagai akibat dari kecanduan gawai pada anak juga bisa menjerumuskan anak pada masalah hukum yang sekaligus memotong jalan menuju masa depan mereka. AFS bertindak bukan lagi atas dasar nalurinya sebagai anak tetapi mengikuti naluri gawai. Keinginan untuk terus berinteraksi dengan gawai secara tidak sadar memaksa AFS berlaku keji dan di luar batas normal. AFS adalah potret anak yang sudah tidak bisa lepas dari candu gawai.

Memang penolakan pada gawai sudah tidak relevan lagi untuk didengungkan di era sekarang sebab gawai juga sudah merupakan suatu kebutuhan. Tetapi mengenalkan gawai terlalu dini pada anak ibaratnya seperti mengijinkan mereka bermain pisau tajam bermata dua. Gawai dapat membantu tetapi sekaligus juga dapat melukai dan membunuh. Karenanya memanfaatkan gawai sesuai dengan waktu dan kegunaanya lantas menjadi pilihan agar gawai berfungsi sebagai penunjang dunia anak bukan sebaliknya malah merusak dan mematikan dunia mereka.

Jika saya bisa bebas dari candu gawai hanya pada saat tidur ataupun mandi maka seorang anak mestinya harus lebih dari itu. Baik ada gawai maupun tanpa gawai, perasaan seorang anak juga harusnya baik-baik saja. Seorang anak harus dibiasakan untuk tidak merasa gelisah meskipun tanpa gawai. Oleh karena itu, mengatur anak bermain gawai sesuai waktu dan kegunaan sudah harus menjadi prioritas untuk dilakukan setiap orang tua. Cara yang paling sederhana yang mungkin bisa dicoba adalah menerapkan kebiasaan bangun pagi tanpa harus bermain gawai. Ibaratnya seperti sarapan pagi yang menurut banyak penelitian sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, maka bangun pagi tanpa harus bermain gawai dapat menjadi cara pertama dan paling sederhana untuk menghindari anak dari jeratan candu gawai. Jika saat bangun pagi anak sudah dibiarkan bermain gawai maka jangan heran akan sering muncul anak seperti AFS lainnya di Indonesia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya