Babak Baru Upaya Melawan Pernikahan Dini

Penulis Buku Cerita Anak 'Si Aropan'
Babak Baru Upaya Melawan Pernikahan Dini 06/06/2020 1568 view Lainnya Pixabay.com

Pasca pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh DPR pada 16 September 2019 silam, ada secercah harapan agar kasus-kasus pernikahan yang melibatkan anak-anak di Indonesia dapat ditekan.

Awalnya, batasan usia perkawinan minimal adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Kini, untuk perempuan, usia yang diperbolehkan menikah naik menjadi serupa dengan laki-laki yaitu minimal 19 tahun.

Tidak cuma menghadirkan rasa optimisme untuk mencegah terjadinya pernikahan dini, pengesahan Undang-Undang ini juga penting supaya selaras dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasalnya, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa definisi anak-anak adalah mereka yang berada di bawah usia 18 tahun.

Inilah yang selalu menjadi dilematisme. Sebab jika selama ini, katakanlah, seorang perempuan menikah pada usia yang telah genap 16 tahun, pernikahan itu sah menurut Undang-Undang Perkawinan tapi tidak sah dari sudut pandang Undang-Undang Perlindungan Anak.

Berbahaya

Data Badan Pusat Statistik (BPS menunjukkan bahwa selama tahun 2018, persentase pernikahan dini di Indonesia mencapai 15,66%. Angka itu mengalami kenaikan dari sebelumnya 14,18% pada tahun 2017. Tingginya angka itu disebabkan oleh beberapa faktor seperti pendidikan, agama, sosiokultural dan ekonomi.

Menurut Pengamat Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna, pernikahan dini juga dapat disebabkan oleh pola pikir yang kurang rasional. Artinya, pernikahan masih sering dianggap langkah solusit untuk memecahkan persoalan hidup dan menghindari terjadinya pergaulan bebas. Padahal, pernikahan dini justru rentan menjadi akses masuknya sederet dampak buruk.

Tahun lalu masyarakat dibuat heboh dengan perkawinan dua bocah berinisial RG dan ML di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada 11 Juli 2019. RG dan ML bahkan masih berstatus sebagai pelajar SMP. Dengan alasan keduanya saling mencintai dan demi menghindari terjadinya perzinahan, orang tua masing-masing pihak pun memberikan restu meski mereka paham betul bahwa anak-anak itu baru menginjak usia 14 tahun.

Sikap orang tua RG dan ML yang sama-sama memberikan lampu hijau atas pernikahan itu patut disayangkan. Selain sebagai kekeliruan besar, mereka juga terkesan seperti hendak lepas tangan dari peran dan tanggung jawab sebagai orang tua. Betapa tidak, hanya karena kekhawatiran akan terjadinya perilaku amoral pada RG dan ML, mereka lebih memilih jalan pintas dengan menikahkan keduanya dan mengabaikan faktor-faktor negatif yang rentan timbul akibat pernikahan di bawah umur.

Pertama, organ reproduksi keduanya belum matang. Menurut ilmu kedokteran medis pada pasangan yang menikah muda seusia RG dan ML kehamilan memang dapat terjadi. Tapi, resiko kematian pada ibu dan bayi saat proses melahirkan konon bisa mencapai lima kali lipat dibandingkan dengan usia yang dianggap telah siap.

Belum lagi resiko-resiko kesehatan lain yang dapat mengancam jiwa seperti terkena kanker leher rahim, mioma, atau kanker payudara—untuk sekedar memberikan contoh. Dengan kata lain, dari faktor-faktor biologis, menikah usia dini begitu berbahaya dan sangat merugikan khususnya bagi kaum perempuan.

Kedua, pernikahan dini biasanya berbanding lurus dengan kemungkinan terjadinya perceraian. Logikanya, orang-orang yang menikah pada saat usia baru mencapai belasan tahun masih dikategorikan sebagai anak-anak. Tentu dari sisi mental, psikologis dan emosional, mereka masih sangat diragukan menjalani kehidupan rumah tangga. Konflik yang dapat menjurus kepada praktik-praktik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terjadi karena ketidakdewasaan kedua pihak.

Dan yang paling sering menjadi korbannya adalah kaum perempuan. Bayangkan saja, jika pada masa-masa pacaran, para remaja sering ditemukan berantem dan galau karena hal-hal sepele, konon lagi nanti pada saat menjalani kehidupan sebagai suami istri yang sah, dengan kompleksitas persoalan-persoalan dalam rumah tangga yang sering datang silih berganti.

Belum lagi pasangan yang menikah di bawah umur kerap kali belum mandiri dari sisi keuangan. Mereka lazimnya masih berada dalam tanggungan orang tua. Ini biasanya disebabkan oleh situasi yang memaksa untuk putus sekolah karena rasa malu kepada teman-teman dan guru-guru pasca menikah muda. Karena tidak dibekali oleh keahlian dan keterampilan yang cukup untuk terjun ke dunia kerja, sang suami yang semestinya bertugas sebagai pencari nafkah utama harus menelan pil pahit dengan menjadi pengangguran.

Ketiga, menikahkan anak-anak di bawah umur dengan alasan menghindarkan keduanya dari zinah, pada saat yang sama, sebenarnya telah menafikan kesakralan pernikahan. Bagaimana pun juga, pernikahan merupakan wadah suci yang disediakan setiap agama untuk pasangan yang telah siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga sampai usia tua dan meninggal dunia.

Dengan demikian, sekali lagi, kalau karena kekhawatiran akan terjerumus ke dalam perbuatan asusila semata, sesungguhnya menikah sudah disederhanakan secara sepihak sebatas legalisasi hubungan seks agar terhindar dari ancaman dosa.

Indeks Pembangunan Manusia

Selain bertujuan menekan dan mencegah pernikahan dini yang terbukti mendatangkan setumpuk persoalan, pengesahan Undang-Undang Perkawinan diharapkan akan lebih berdampak signifikan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia. Maksudnya seperti ini.

Pernikahan dini berkorelasi dengan naiknya angka putus sekolah. Maka, implikasinya akan semakin meluas. Pangkal dari rendahnya tingkat pendidikan adalah kemiskinan. Kemiskinan kemudian berefek pada penurunan angka indeks pembangunan manusia (IPM). Dalam konteks yang lebih luas, hal ini akan berdampak buruk terhadap kemajuan pembangunan dan semakin meningkatkan kasus-kasus kejahatan.

IPM Indonesia memang mengalami tren positif. Menurut BPS, IPM Indonesia pada tahun 2017 sebesar 70,81%. Pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 71,39%. Angkat ini menurut United Nations Development Program (UNDP) masuk kategori IPM yang tinggi. Sebagai catatan, IPM lebih besar dari 80 adalah kategori sangat tinggi, 70-79 termasuk kategori tinggi dan 60-69 merupakan kategori rendah.

Kepala BPS Suhariyanto seperti yang dilansir dari laman CNN Indonesia menilai tingginya pencapaian itu disebabkan oleh peningkatan di empat indikator yaitu umur harapan hidup (dari 71,06 tahun menjadi 71,2 tahun), harapan lama sekolah (dari 12, 85 tahun menjadi 12,91 tahun), rata-rata lama sekolah (dari 8,1 tahun menjadi 8,17 tahun) dan tingkat standar hidup yang layak (naiknya pendapatan per kapita dari Rp.10,66 juta per tahun menjadi Rp. 11,06 juta per tahun).

Akan tetapi ada masalah di balik data yang menggembirakan itu. Pada indikator harapan lama sekolah, untuk kategori usia 7-12 tahun atau tingkat pendidikan SD, angka partisipasi sekolah memang mencapai 99 persen. Artinya, hampir setiap anak di Indonesia menempuh pendidikan SD.

Namun, tingkat partisipasi itu mengalami grafik penurunan yang tajam pada yang lebih tinggi seperti SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Masih menurut Suhariyanto, kebanyakan anak-anak di Indonesia hanya menempuh pendidikan sampai kelas IX SMP.

Ini yang patut untuk ditelusuri. Boleh jadi turunnya angka partisipasi sekolah yang cenderung terhenti sampai di jenjang kelas IX SMP diakibatkan oleh pernikahan dini yang terus meningkat. Penetapan batasan umur minimal yang baru memang patut untuk disyukuri. Tapi itu akan sia-sia jika tidak didukung oleh kesadaran kolektif orang tua.

Selain itu, pemerintah juga perlu menggandeng para tokoh agama dan ketua masyarakat adat. Tujuanya jelas: menciptakan keseragaman persepsi antara hukum negara, agama dan adat dalam memandang pernikahan. Selama ini kita tidak bisa menutup mata terhadap adanya fenomena pernikahan yang sah secara hukum agama dan hukum adat tapi tidak menurut hukum negara.

Tanpa adanya koordinasi ketiga poros ini, berapa pun batasan usia pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan tidak akan berarti banyak. Sebab hukum agama dan hukum adat dapat dijadikan celah karena terkesan memberikan kelonggaran.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya