Arteria Dahlan Dan Pembonsaian Penanganan Korupsi

Beberapa waktu lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan hasil kajian tentang kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) meliputi Kejaksaan, Kepolisian dan KPK terhadap penanganan kasus korupsi pada semester satu tahun 2021. Kajian tersebut menunjukan bahwa, selama semester satu tahun 2021, kinerja penanganan kasus korupsi APH hanya mencapai 19% atau peringkat E (sangat buruk) (kompas.id, September 2021).
Pasalnya, kinerja penanganan kasus korupsi yang dilakukan APH belum memenuhi target. Sejatinya, target penanganan korupsi harus mencapai 1.108 kasus di semester satu tahun 2021 yang harus diselesaikan, namun hanya 209 kasus mampu terselesaikan. Dari 209 kasus yang terselesaikan meliputi 188 kasus baru atau sebanyak 89,6 %, selain itu ada 17 pengembangan kasus atau 8,5 % dan empat kasus OTT sebanyak 1,9 % (kompas.id, September 2021).
Kinerja penanganan kasus korupsi oleh APH dirinci sebagai berikut: kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan sebanyak 151 kasus dari target 285 kasus. Kinerja Kejaksaan mencapai sekitar 53 % atau termasuk kategori C. Sementara, kinerja kepolisian sekitar 5,9 %, masuk kategori E (sangat buruk). Pasalnya dari target 763 kasus korupsi, kepolisian hanya mencapai 45 kasus. Sedangkan, presentasi kinerja KPK sekitar 22 % atau termasuk kategori D (buruk), karena kuantitas penanganan kasus KPK hanya menyelesaikan 13 kasus dari target 60 kasus (kompas.id, September 2021).
Total kerugian negara akibat korupsi pada semester 1 mencapai 26,83 triliun. Menurut ICW, jumlah ini mencapai 47,63 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 18,17 triliun. Di sisi lain, total anggaran yang dialokasikan untuk penindakan kasus korupsi oleh APH berjumlah 328,6 miliar.
Hal ini menunjukan penganggaran penindakan kasus korupsi oleh APH belum berbasis kinerja. Artinya, penggunaan anggaran yang menekankan pada prestasi kerja APH belum menjadi agenda utama.
Karenanya, menurut ICW rendahnya kinerja Aparat Penegak Hukum disinyalir karena inkonsistensi APH dalam penanganan kasus korupsi. Sehingga, tata kelola kebijakan penanganan kasus korupsi tidak berjalan dengan baik yang membuat kasus korupsi terus berlangsung dari waktu ke waktu.
Di tengah ambruknya profesionalisme kinerja APH, sebagaimana ditunjukkan oleh ICW di atas, muncul pernyataan kontroversi anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan, yang menyatakan “Aparat Penegak Hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa tidak layak dijerat operasi tangkap tangan (OTT) karena merupakan simbol negara”.
Pernyataan Arteria Dahlan tersebut memancing komentar berbagai pihak bahwa jika APH adalah simbol negara maka sejatinya APH harus menunjukan kinerja dan profesional yang membanggakan. Jika upaya penanganan kasus korupsi dilakukan dengan membangun konstruksi hukum agar lebih adil, maka semua instrumen hukum harus digunakan dan dipakai guna menjerat semua koruptor tanpa pandang bulu, termasuk APH bila melakukan korupsi.
Selain itu ada sebagian pihak yang berkomentar bahwasannya pernyataan Arteria Dahlan merupakan taktik pembonsaian penanganan korupsi di Indonesia. Ada yang menyebutnya sebagai upaya “mengamankan jalan menuju Roma”. Ada pula yang mengatakan bahwa, pernyataan Arteria Dahlan merupakan representasi menguat nya hidden interest elite politik untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Begitulah kira-kira komentar yang berseliweran di jagad maya.
Hasil kajian ICW dan pernyataan Arteria Dahlan sebenarnya adalah peringatan bagi bangsa Indonesia bahwa upaya penanganan kasus korupsi adalah tantangan terberat. Beratnya tantangan ini dikondisikan oleh fenomena paradoksal, di satu sisi, manis janji demokrasi demi terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan umum melalui penanganan korupsi, namun di sisi yang lain kita dihadapkan dengan institusi dan aktor-aktor aparatur negara yang koruptif, hipokrit, dan antidemokrasi.
Mungkin ini adalah tragedi sekaligus lelucon. Korupsi sudah menjadi semacam budaya (culture) dalam tapak perjalanan penyelenggaraan negara di republik ini dari waktu ke waktu yang senantiasa menjadi fenomena yang selalu aktual dan up to date. Sedangkan politik hukum penanganan korupsi hanya sebatas basa-basi politik para elite.
Tentunya kita muak dengan persoalan ini. Namun, sampai kapan ini berakhir? Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu dibenahi sebagai upaya penanganan kasus korupsi di Indonesia. Pertama, perlu dilakukan penguatan teknis institusional atau kelembagaan khususnya institusi penegak hukum. Sebab, masifnya korupsi terjadi karena disfungsi institusi akibat menguatnya hidden interest APH dengan elite-elite yang tersandung korupsi. Penguatan institusional atau kelembagaan berupa perbaikan tata kelola kebijakan penanganan, SDM, maupun penguatan instrumen penanganan korupsi.
Kedua, melihat persoalan penanganan korupsi sebagai persoalan ekonomi-politik. Secara ekonomi-politik, persoalan korupsi bermuara dan berakar dari tatanan masyarakat berkelas. Dalam tatanan masyarakat berkelas, relasi kekuasaan terjalin antara dua kelompok yang berseberangan yakni antara elite penguasa dengan masyarakat yang dikuasai.
Tatanan masyarakat kapitalistik seperti saat ini, elite penguasa (oligarki & kapitalis) menindas kelas sosial lainnya dengan merampok nilai lebih dan sumber daya negara (melakukan korupsi) untuk kepentingan mereka. Karenanya, secara ekonomi-politik dilakukan dengan penguatan gerakan sosial-politik bagi masyarakat untuk mewujudkan tatanan tanpa kelas. Sehingga, politik tidak asing bagi rakyat yang berada di pinggiran, dan politik bukan urusan para pembesar yang dekat dengan bidang kekuasaan.
Oleh karena itu, dengan meletakkan penanganan korupsi sebagai persoalan teknis prosedural dan persoalan ekonomi politik, setidaknya dapat mencegah niat pembonsaian elite-elite politik penguasa selama ini yang tidak pernah konsisten untuk menuntaskan tugas dan tuntutan reformasi. Salah satunya adalah penyelesaian kasus korupsi sampai ke akar-akarnya.
Artikel Lainnya
-
32229/08/2024
-
82721/09/2022
-
76910/06/2021
-
140025/08/2021
-
Kejujuran dan Kebenaran dalam Sidang Kasus Brigadir Yosua dari Perspektif Filsafat Fenomenologi
77319/01/2023 -
Kritik Al-Ghazali Terhadap Filsafat
1266806/12/2020