APBD dan Hak Atas Pelayanan Publik
Memulai tulisan ini, saya ingin meminjam pengertian negara oleh Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya, Dasar-Dasar Ilmu Politik (2007) yang membahasakan bahwa “ negara merupakan daerah teritorial yang rakyatya diperintah oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut kepada seluruh rakyatnya untuk taat kepada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan monopolistis terhadap kekuasan yang sah (Kompas.com, 27/02/2020).
Senada dengan hal tersebut, Max Weber dalam Arif Budiman(1996) mengatakan bahwa negara merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyatnya. Ini menunjukan bahwa, jikalu kita berbicara tentang negara berarti kita akan membahas berkaitan dengan sebuah kekuasaan yang besar. Namun yang menjadi perhatian penulis, apakah kekuasaan tersebut digunakan untuk kepentingan rakyat atau kepentingan segelintir orang saja. Dari pandangan dua ahli di atas, kita telah bisa memahami bahwa negara memiliki kemampuan untuk memajukan sekaligus menghancurkan rakyatnya.
Berbicara tentang negara, kita akan mebahas banyak hal. Namun, kali ini saya hanya akan membahas sedikit. Berkaitan dengan kemajuan negara, terutama dilihat dari aspek anggaran yang mendukung negara tersebut baik di tingkat pusat hingga daerah-daerah. Untuk tulisan ini, penulis ingin membahas lebih jauh tentang pembagunan negara yang lebih mengarah pada infrastruktur. Dalam melakukan pembangunan infrastruktur, tentu membutuhkan anggaran dan dana dari rakyat kemudian dikelola oleh negara. Dalam hal ini, penulis menelisik lebih jauh tentang pengeloaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) terhadap hak-hak rakyat atas pembangunan serta pelayanan publik yang baik dan bermoral.
Memahami APBD
Pembahasan mengenai anggaran dewasa ini selalu menjadi hangat dalam berbagai kalangan, baik itu aktivis mahasiswa, akademisi kampus, maupun para birokrat yang menjadi wakil rakyat dalam perumusan kebijakan soal anggaran pemenuhan kebutuhan rakyat. Lebih jelasnya lagi, dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang mewartakan bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuagan tahunan pemerintah daerah yang dibahas serta disepakati oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kemudian ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Dalam hal ini, tentunya pemerintah dan DPRD tidak boleh egois dan serakah dalam memperjuangkan alokasi anggaran untuk kepentingan mereka saja, tetapi bagaimana mengedepankan hak-hak rakyat. Dalam penyusunan APBD, aspirasi rakyat menjadi hal yang paling utama. Yang mana jalur aspirasi tersebut, dimulai dari pelaksanaan Musyawarah Perencanan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan/desa dilanjutkan pada skala kecamatan serta dengan skala prioritas akan sampai pada pembahasan tingkat kabupaten/kota dan dimasukkan dalam penyusunan APBD. Selain jalur Musrenbang kelurahan/desa rancangan APBD juga melalui jalur bottom-up melalui usulan-usulan dari organisasi pemerintah daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kemudian dibahas dalam Msrenbang dan dicanangkan ke dalam APBD.
Perlu di ketahui juga, bahwa dana yang terdapat dalam APBD bersumber dari: (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi Pajak Bumi Bangunan, pajak cukai, pajak penghasilan, dan pajak lainnya. Ada juga retribusi daerah, misalnya izin usaha, dan retribusi parkir.(2) Dana perimbangan, yang terdiri dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Selain itu juga terdapat dana alokasi umum dari APBN ke APBD, serta dana alokasi khusus dari pusat ke daerah dan (3) Pendapatan lainnya yang sah (Ruangmenyala.com, 14/02/2022)
Hak Atas Pelayanan Publik
Jika dilihat dalam pembahasan awal di atas, kita tidak dapat memungkiri bahwa kemajuan sebuah negara bahkan daerah sangat bergantung pada yang namanya dana atau anggaran. Tinggal bagaimana mengelola anggaran tersebut yang perlu diperhatikam oleh para wakil rakyat. Karena jika bersandar pada sistem demokrasi negara kita maka akan merujuk pada pandangan Abraham Lincoln presiden ke-16 Amerika yang menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun menurut penulis pemerataan pemanfaatan anggaran di negara kita belum terlaksana secara sempurna.
Contoh nyata penulis lihat di negara kita terkhususnya Dusun Talaga Puncak, Kelurahan Rum, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulaun. Yang mana jika dilihat secara empiris Pemerintah Kota Tidore telah ada dari 31 Mei 2003 hingga 31 Mei 2023 tepatnya 20 tahun usia kota namun masih banyak terdapat problem di Dusun Talaga Puncak. Melihat hal ini tentulah akan muncul pertanyaan di benak kita, dimanakah APBD selama 20 tahun tersebut? atau apakah pemerintah tidak serius dalam menerapkan pelayanan publik terhadap rakyatnya?.
Lebih jauh, penulis mencoba menerka aksi Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Tidore pada rabu 07 Juni 2023. Dalam aksi tersebut, HMI mewartakan bahwa pada Dusun Talaga Puncak masih terdapat empat problem dasar yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Yakni, (1) persoalan jalan raya sepanjang 6 kilo meter namun baru dibangun 4 kilo meter dan 2 kilo meter masih bertanah tanpa aspal, (2) Tidak adanya akses jaringan telephone dan internet, (3) Terdapat banyak fasilitas pendidikan yang masih belum lengkap dan mengalami banyak kerusakan, (4) Fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Bahkan di Dusun Talaga banyak plafon sekolah SD yang tidak layak, di kelas dua tidak memiliki papan tulis untuk belajar para siswa. Selain itu, fasilitas pustu yang tidak memiliki kamar mandi dan alat kesehatan yang kurang juga menjadi hambatan bagi petugas kesehatan untuk melayani para pasien ketika berobat, (haliyora.id, 07/06/2023).
Melihat persoalan ini, tentu akan membuat kita kebingungan. Setiap tahunnnya anggaran daerah dikemanakan, sehingga jalan yang 6 KM saja tidak dapat terselesaikan. bagaimana dengan pemaparan dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2009 Pelayanan Publik yang mengatakan bahwa pelayanan publik adalah tugas dan tanggung jawab pemrintah dalam mensejahterakan rakyatnya. Bagaimana mau sejahtera sedangkan jalan penghubung untuk masyarakat beraktifitas dengan berdagang di pasaran dalam memenuhi ekonomi keluarga saja belum tercapai. Bahkan mereka tidak bisa merasakan arus globalisasi seperti rakyat yang ada di daerah perkotaan. Inti dari semua problem tersebut adalah soal jalam penghubung, jika jalan sudah selesai maka yakin dan percaya yang lain juga ikut selesai.
Dilansir dari Media Kaidah malut, diketahui bahwa jalan di Dusun Talaga sudah dianggarkan dari 2016 hingga 2022 dari Aana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum. Pada 2016 sebesar 3,7 miliar dari DAK, 2018 sebesar 1,1 miliar dari DAU, 2019 dari DAK sebesar 1,9 miliar , 2021 sebesar 1,4 miliar dari DAU dan 2022 sebesar 1 miliar dari DAU, Totalnya sekitar 9,1 miliar. Namun yang menjadi kebingungan penulis, kenapa dengan dana yang sebesar itu tidak dapat menyelesaikan jalan yang hanya 6 KM saja, terus kenapa pada 2017, 2020, dan 2023 tidak dianggarkan, apakah pemerintah tidak serius dalam menangani pelayanan publik, ataukah ada kepentingan lain yang menjadi hambatan, wallahualam bissawab. Semoga pajak yang dibayarkan oleh rakyat tidak dikorupsi oleh pemerintah serta semoga dapat dikembalikan kepada rakyat dengan pemerataan infrastruktur yang layak dan merata untuk seluruh rakyat tanpa ada tendensi kepentingan oligarki tertentu.
Artikel Lainnya
-
13510/05/2024
-
33321/01/2024
-
240419/02/2021
-
Menjelajahi Kehidupan dan Kontribusi Avicenna
44203/01/2023 -
Revitalisasi Peran Pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarkatan
63305/09/2021 -
RUU KUHP: Antara Unifikasi dan Pluralisme Hukum
440128/09/2019