Apakah Kita Sudah Berdialog Dengan Benar?

Apakah Kita Sudah Berdialog Dengan Benar? 21/05/2022 1005 view Agama religionandsecurity.org

Wacana dialog antar agama sering sekali digaungkan oleh kalangan aktivis perdamaian antar umat beragama. Karena dengan jalan dialog, prasangka buruk dan juga stigma negatif yang sering kali menjadi pemicu konflik dapat menjadi luntur dan luruh. Luntur dan luruhnya prasangka buruk tersebut kemudian akan membawa kita pada pemahaman. Pemahaman ini lalu mendorong kita untuk sampai pada sebuah sikap penghargaan atas orang lain, dan penghargaan ini akan melahirkan sebuah perdamaian. Dialog dengan demikian bisa menjadi salah satu jalan utama yang bisa kita tempuh untuk mencapai perdamaian.

Mengutip pendapat Gerardette Philips, dalam bukunya yang berjudul "Melampaui Pluralisme", dialog antar agama sesungguhnya memerlukan integritas. Integritas ini terbentuk setelah kita mengenali diri kita dan juga keimanan kita sendiri. Pengenalan ini membawa kita pada sebuah komitmen kuat atas keimanan kita berikut juga pada pemahaman mendalam atas apa yang kita imani.

Pegangan yang kuat atas keimanan kita sendiri tidak berarti bahwa kita harus tertutup kepada keimanan atau kepercayaan orang lain. Sebaliknya, komitmen tersebut harus mendorong kita untuk terbuka kepada orang lain. Mengapa demikian? Karena dari keterbukaan kita bisa belajar tentang keimanan kita sendiri melalui orang lain. Di dalam proses itu, kita bisa mengetahui keimanan orang lain, berikut bagaimana orang lain memandang keimanan kita. Dari proses itu, kita dapat melakukan evaluasi dan melakukan otokritik pada keimanan kita sendiri. Artinya, keterbukaan dalam dialog berhubungan erat dengan proses pembelajaran.

Proses dialog harus melibatkan keberanian untuk jujur dan menghilangkan kompromi. Dua sikap tersebut berujuk pada sebuah kesiapan kita untuk mengungkapkan apapun yang ada di dalam pikiran kita secara jujur, sekaligus siap menghadapi tanggapan apapun yang muncul dari mitra dialog kita.

Dengan dua sikap tersebut, maka dialog juga berkaitan erat dengan keberanian untuk melontarkan kritik. Tentu, kita tidak bisa memaknai kritik sebagai penghinaan, karena keduanya berbeda. Kritik didasarkan pada sebuah argumentasi sekaligus keterbukaan. Sedangkan penghinaan tidak didasarkan pada argumen, apalagi pada keterbukaan. Penghinaan justru hanya sentimen emosional yang tak berdasar sama sekali; dan hal tersebut tentu merusak dialog yang sehat.

Keberanian untuk jujur di dalam dialog artinya tidak hanya berhubungan dengan dorongan untuk bertanya dan mengklarifikasi prasangka kita pada mitra dialog semata. Lebih jauh, kita juga berani mengutarakan pandangan yang bahkan bisa jadi bertentangan dengan mitra dialog kita. Pandangan yang bertentangan ini tentu tetap sehat dalam proses dialog, sejauh pertentangan tersebut tetap didasarkan pada sebuah argumentasi, berikut juga keterbukaan kita untuk mendapatkan segala bentuk jawaban; yang bisa jadi juga bertentangan dengan apa yang kita yakini selama ini.

Dialog yang penuh kompromi, dengan cara menahan pikiran dan pertanyaan yang kita rasa bisa “menyinggung” orang lain justru tidak baik. Karena sikap tersebut bisa membawa kita pada pemahaman yang palsu dan tidak jujur. Perdamaian yang lahir pun, bukan lahir sebagai sebuah perdamaian yang “murni”. Prasangka kita pun bisa jadi tetap hinggap di kepala kita, dan tak pernah terklarifikasi sama sekali.

Lebih jauh, dialog sendiri mestinya mampu menyajikan diri kita apa adanya, begitu pun dengan lawan bicara kita. Sehingga, apabila dialog yang jujur dan tanpa kompromi itu tidak dihadirkan, maka kita hanya menghadirkan topeng kepalsuan belaka, yang alih-alih menyajikan kedirian kita yang sejati, justru malah menampilkan diri kita yang lain. Implikasinya, pembelajaran tidak akan terjadi, karena proses pembelajaran harus disertai dengan kejujuran dan berani mengungkapkan apapun secara apa adanya. Begitu juga dengan mitra dialog kita, mereka tak akan belajar apapun tentang diri kita, apabila kita menyajikan kepalsuan.

Namun, bukankah dalam dialog model itu kita tidak akan mencapai kesepahaman yang bersifat tunggal? Tentu, justru esensi dari dialog bukan terletak pada ketunggalan pemahaman. Bahkan, proses dialog justru harus membawa kita pada sikap berani menerima perbedaan. Barangkali kita bisa sebut bahwa proses dialog justru berujung pada sikap afirmatif atas perbedaan pemahaman.

Fokus dialog sendiri sebetulnya bukan diarahkan kepada orang lain, sebaliknya fokus dialog adalah diri kita sendiri, di mana dari dialog kita bisa belajar tentang keimanan orang lain, dan terkhusus belajar tentang keimanan diri kita sendiri yang berasal dari sudut pandang orang lain. Pemahaman dan pengetahuan baru ini kemudian akan melahirkan sebuah pemahaman baru bagi diri kita, dan pemahaman baru ini tentu bisa membawa perubahan pada diri kita untuk menjadi sosok yang lebih baik.

Rasanya cukup naif juga apabila kita mengandaikan bahwa dialog harus melahirkan sebuah kesepahaman yang bersifat tunggal. Bahkan, saya rasa, mencari yang sama dan tunggal itu sendiri justru, alih-alih dapat membawa kita pada penghargaan atas orang lain dan afirmasi atas perbedaan, secara implisit malah mengandaikan bahwa orang lain harus memiliki satu frame dan satu identitas yang sama dengan kita. Intensi tersebut justru malah menolak perbedaan atau pluralitas.

Dialog antar agama tentu takkan pernah berujung. Sejauh kita sadar bahwa kita adalah manusia yang terbatas, maka dialog harus selalu tak berujung. Dialog harus selalu dilakukan terus menerus, agar kita selalu belajar dan senantiasa mengevaluasi diri. Dialog membawa kita pada sebuah sikap, di mana kita selalu sadar bahwa kita adalah manusia yang selalu kekurangan, dan selalu ingin untuk memperbaiki diri. Sebaliknya, berharap bahwa dialog yang berakhir atau berujung di satu titik, justru menunjukan sikap arogan, dalam pengertian kita merasa bahwa segalanya sudah selesai, dan pengetahuan kita telah final. Padahal faktanya kita takan pernah sampai pada titik itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya