Ancaman Money Politic dan Golput di Pilkada

Peminat Isu Media, Politik dan Sosial
 Ancaman Money Politic dan Golput di Pilkada 20/11/2020 1368 view Politik voaindonesia.com

Pelaksanaan pilkada serentak 2020 kurang dari sebulan lagi. Saat ini para kandidat, tim dan pendukungnya tengah sibuk berkampanye dan memaksimalkan strategi politik untuk meraih simpati masyarakat. Di saat bersamaan, sejumlah persoalan krusial juga muncul yang justru mencederai jalannya kontestasi.

Munculnya persoalan-persoalan tersebut ditengarai oleh pelaksanaan pilkada di saat Covid-19 masih melanda di Indonesia. Selama masa kampanye saja atau terhitung sejak tanggal 26 September lalu, Bawaslu dan KPU mencatat ada banyak pelanggaran yang dilakukan oleh para kontestan seperti pelanggaran protokol kesehatan saat kegiatan kampanye tatap muka, pelaksanaan kampanye online yang belum optimal, penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian serta dugaan keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam berbagai kegiatan politik dari para pasangan calon menjelang pilkada.

Persoalan lain yang juga muncul adalah isu politik uang dan gerakan golongan putih (golput). Money politics (politik uang) dan gerakan golput menjadi diskursus yang menarik untuk dibahas menjelang pelaksanaan pilkada serentak akhir Desember nanti.

Kedua diskursus tersebut mengemuka di publik tidak lepas dari kontroversi pelaksanaan pilkada serentak 2020 yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Banyak kalangan menilai bahwa praktek politik uang sulit dihindari dan keengganan masyarakat untuk memilih membuat angka golput kali ini diprediksi meningkat. Sehingga keduanya bisa menjadi ancaman atau tantangan yang harus dihadapi dan dicegah dalam perhelatan kali ini.

Ancaman Money Politics

Money politics (politik uang) merupakan salah satu persoalan klasik yang kerap kali muncul dalam setiap proses politik di Indonesia.

Secara umum politik uang dimaknai sebagai praktek politik dengan membagi uang untuk memperoleh suara atau dukungan dari pemilih saat pelaksanaan pemilu.

Menurut Muhtadi (2019) politik uang mengacu pada praktek jual beli suara (vote buying) yang biasanya dilakukan pada saat menjelang pemilu atau biasa juga disebut sebagai serangan fajar. Bentuk-bentuk praktek ini bisa berupa uang, hadiah atau juga bantuan-bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat menjelang pemilu berlangsung. Dapat dikatakan bahwa politik uang terjadi ketika para pasangan calon menawarkan sejumlah uang atau bantuan lainnya kepada masyarakat sebagai alat tukar untuk dipilih.

Praktek ini disinyalir akan tumbuh subur dalam pilkada kali ini. Hal tersebut juga diakui oleh Menko Polhukam, Mahfud MD dalam sebuah diskusi virtual tentang pilkada September lalu yang mengatakan bahwa politik uang akan selalu ada dan bahkan sulit dihindari dalam proses pilkada, baik pemilihan langsung maupun pemilihan melalui DPRD. Bedanya praktek di kalangan masyarakat “money politic eceran” sementara di DPRD “borongan”, bayar ke partai (CNNIndonesia.com, 5/9/20).

Adapun menurut penulis, praktek ini dapat terjadi dalam pilkada serentak 2020 disebabkan oleh beberapa alasan: Pertama. Kondisi perekonomian masyarakat yang terpukul akibat pandemi corona. Saat ini banyak masyarakat yang pendapatnya menurun dan juga yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kondisi perekonomian masyarakat yang sedang terpuruk ini kemudian coba dimanfaatkan oleh para calon dengan melakukan pendekatan traksasional atau politik uang untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Apalagi dari hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik menemukan bahwa di sejumlah wilayah yang melaksanakan pilkada, 67% masyarakat menganggap politik uang itu wajar, bahkan terdapat wilayah yang angkanya mencapai 80% (Merdeka.com, 27/09/20).

Kedua, minimnya kreatifitas para pasangan calon dan tim ketika berkampanye. Sampai saat ini, aktivitas kampanye para pasangan calon masih didominasi oleh kegiatan tatap muka dan belum mengoptimalkan kampanye secara online. Bahkan menurut Bawaslu kegiatan kampanye secara virtual tersebut menurun pada 10 hari kelima masa kampanye, jika dibandingkan dengan 10 hari sebelumnya yaitu ada 56 kegiatan (Kompas.com, 17/11/20).

Tidak hanya itu pelanggaran protokol kesehatan selama masa kampanye juga masih sering terjadi. Bawaslu mencatat bahwa selama 50 hari kampanye, terdapat 1448 pelanggaran protokol kesehatan (Kompas.com, 17/11/20).

Minimnya kreatifitas juga membuat para pemilih tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang program atau visi dan misi sehingga cenderung untuk memilih karena faktor uang.

Informasi yang disampaikan para calon juga cenderung normatif dan belum masuk pada persoalan-persoalan yang substansial terkait program yang dicanangkan.

Dengan kata lain diskusi-diskusi ruang publik selama masa kampanye didominasi oleh hal-hal yang “receh” dan bahkan penyebaran berita bohong, ujaran kebencian masih saja terjadi membuat edukasi politik kepada masyarakat tidak berjalan baik.

Ancaman Golput

Angka golput dalam pilkada serentak kali ini berpotensi akan meningkat. Hal tersebut tentunya membuat partisipasi pemilih dalam kontestasi kali ini akan menurun atau tidak sesuai dengan target dari KPU yaitu sebesar75 %.

Turunnya jumlah pemilih juga diakui oleh Kacung Marjian, pengamat politik Universitas Airlangga (UNAIR) dalam detik.com (7/10/20) yang mengatakan bahwa perhelatan kontestasi di saat pandemi memberi peluang rendahnya partisipasi pemilih. Namun menurutnya, tinggi rendahnya jumlah pemilih nanti akan sangat bergantung pada bagaimana penanganan Covid-19 oleh pemerintah.

Alasan lain juga mengapa penulis mengatakan bahwa golput menjadi ancaman yang harus diwaspadai dalam pilkada kali ini adalah: Pertama, penolakan dari banyak kalangan terhadap pelaksanaan pilkada di masa pandemi. Meski pemerintah telah menjamin bahwa gelaran kali ini akan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, nyatanya banyak kalangan menilai bahwa keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan pilkada serentak dapat mengancam keselamatan masyarakat.

Gelombang penolakan tersebut datang dari berbagai kalangan, tercatat sekitar 3.746 artikel dari 155 portal berita dan 52.734 twit dalam kurun waktu tujuh bulan yang membahas tentang penundaan pilkada (Media Indonesia, 15/10/20).

Penolakan lain juga datang dari Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat Muhamadiyah misalnya menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menunda pelaksanaan pilkada serentak sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19. Hal senada juga disampaikan oleh mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla yang juga menolak penyelanggaraan kontestasi kali ini.

Kedua, tingkat kepercayaan pemilih terhadap para penyelenggara pemilu dan juga penerapan protokol kesehatan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga bisa mempengaruhi partisipasi pemilih.

Ketiga, kampanye golput dari sejumlah tokoh publik atau politisi yang diprediksi akan diikuti oleh para pemilih. Sebagai contoh Azyumardi Azra, pakar sejarah dan politik yang secara terbuka akan golput di pilkada sebagai bentuk solidaritasnya terhadap orang-orang yang sudah wafat akibat Corona.

Mantan Rektor Universitas Syarif Hidayatulah tersebut mengatakan bahwaa perhelatan pilkada di kala pandemi dapat membahayakan dan meningkatkan angka kematian (detik.com, 5/10/20).

Keempat, sosialisasi dan edukasi politik terkait pilkada yang belum merata bisa saja menjadi alasan bagi masyarakat untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan nanti.

Menyikapi berbagai persoalan di atas, tugas berat tentu ada pada para penyelenggara pemilu baik itu Bawaslu maupun KPU untuk memastikan bahwa pelaksanaan pilkada kali ini tetap berada pada koridornya. Langkah-langkag strategis mestinya diambil seperti membentuk posco-posco aduan di setiap lokasi pemilihan, membentuk satgas money politics, menjamin keselamatan pemilih dengan menerapkan standar protokol kesehatan di semua tempat pemilihan, mendirikan posco kesehatan di sekitar TPS yang bekerja sama dengan para petugas kesehatan di wilayah setempat, gencar melakukan sosialisasi dan komunikasi politik yang baik untuk memberikan edukasi politik tentang pentingnya partisipasi dalam pemilu serta meningkatkan kepercayaan masyarakat,

Tidak hanya itu, para penyelenggara pemilu perlu menggandeng berbagai pihak seperti media massa, akademisi, kaum milenial, politisi dan pihak-pihak terkait lainnya. Pihak-pihak tersebut berkewajiban mengedukasi dan membangun narasi politik yang baik dengan informasi-informasi yang positif kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran pemilih, menggerakan atau meyakinkan para pemilih untuk datang ke TPS dengan informasi-informasi positif serta mendukung seluruh tahapan pilkada yang menjamin keselamatan masyarakat. Sehingga pada akhirnya, target partisipasi pemilih dapat tercapai dan kualitas demokrasi dalam pilkada serentak tahun ini semakin baik.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya